Sidang eks Kapolres Ngada dan Fani
Akhmad Bumi : Yang Diproduksi dan Dikonsumsi Bukanlah Manusia Melainkan Jasa
Akhmad Bumi, SH, Penasehat Hukum terdakwa eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman menggunakan diksi produsen dan konsumen menulai kontroversi
Penulis: OMDSMY Novemy Leo | Editor: OMDSMY Novemy Leo
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, OMDSMY Novemy Leo
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Akhmad Bumi, SH selaku Penasehat Hukum terdakwa eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman yang menggunakan diksi produsen dan konsumen menulai kontroversi dari berbagai kalangan aktivis.
Akhmad Bumi menjelaskan, sebagai penasehat hukum dia menjalankan profesi dalam membela klien. Penasehat Hukum bukan sebagai pihak luar yang tidak mengetahui materi perkara yang sedang ditangani.
”Konteks yang diangkat soal korban dan kemanusiaan. Penggunaan diksi produsen dan konsumen dipahami secara analogis dalam kerangka ekonomi. Ada pihak yang menyediakan jasa dan ada pihak yang memanfaatkan. Prostitusi online sudah masuk pada industri sex, bekerja dengan logika ekonomi kapitalistik”, jelas Akhmad Bumi, melalui WhatsApp yang dikirimkan kepada Pos Kupang, Senin (25) di Kupang.
Akhmad Bumi menjelaskan ada pandangan yang menolak penggunaan istilah produsen-konsumen dalam prostitusi dengan alasan istilah ini mengandaikan manusia sebagai barang.
Baca juga: Sarah Lery Mboeik : Logika Pengacara Akhmad Bumi Dangkal Terkait HAM dan Keadilan
Tapi menurut Akhmad Bumi, secara ilmiah dan hukum, yang diproduksi dan dikonsumsi bukanlah “manusia” melainkan jasa.
Lebih lanjut Akhmad Bumi menjelaskan, prostitusi di Indonesia memang diatur dalam UU yang melarang eksploitasi seksual, tetapi dari sudut pandang analisis sosial-ekonomi, transaksi jasa seksual tetap masuk dalam kerangka produsen-konsumen.
Penyedia jasa prostitusi bukanlah “barang”, melainkan pelaku usaha jasa, dan pengguna prostitusi adalah konsumen jasa. Kritik yang menyamakan prostitusi dengan objek fisik tidak relevan dalam kerangka ekonomi jasa, ungkapnya.

Kedua belah pihak terlibat dalam transaksi berbasis kesepakatan tanpa ada kerugian yang dipaksakan. Secara ekonomi, pekerja seks adalah produsen jasa, konsumen adalah pengguna jasa, sebutnya.
Secara hukum, konsep ini sejalan dengan UUPK, hukum internasional (UNGCP 2016), dan literatur ekonomi yang mengakui jasa sebagai objek transaksi. Argumen ini membantah pandangan bahwa produsen berarti “barang”, sebab yang diproduksi dan dikonsumsi adalah jasa, bukan manusia.
Akhmad Bumi juga menyoroti soal kemanusiaan. Realitas sosial menunjukkan banyak yang terlibat bukan karena pilihan bebas tapi akibat akumulasinya banyak tekanan, ekonomi, pendidikan rendah, lingkungan, juga disfungsi keluarga. Permintaan pasar yang cukup tinggi memperkuat rantai ini. Fenomena sosial ini yang perlu dikritik.
Baca juga: Ketua LPA NTT Tory Ata : Pernyataan Akhmad Bumi Menyesatkan, Tidak Paham Regulasi
Ini realitas dan fenomena sosial yang perlu dicermati, perlu dilihat dalam perspektif yang lebih luas, jangan melihat dari sudut kecil, ini bukan variabel tunggal. Jangan hanya lihat dipermukaan, tapi lihat didasar terdalam berbagai akumulasi itu, begitu banyak masalah yang harus dikritik.
Akhmad Bumi mengajak semua pihak tidak hanya melihat yang terapung dipermukaan tapi lihat fenomena sosial ini jauh didalam. Ini gunung es. Kenapa kita tidak berani membongkar yang didalam? Karena sebagian besarnya tersembunyi di bawah permukaan, tutup Akhmad Bumi. (*/vel)
Akhmad Bumi: Ada Kesepakatan Produsen dan Konsumen
Sebelumnya diberitakan, Kasus pelecehan seksual yang dilakukan terdakwa eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja yang digelar pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang telah memasuki pertengahan persidangan.
Akhmad Bumi, SH, dan tim selaku kuasa hukum terdakwa Fajar, mengatakan, persidangan sudah di pertengahan, saksi-saksi hampir selesai diperiksa, demikian juga dengan para ahli.

"Tinggal ahli digital forensik Mabes Polri yang diperiksa minggu depan dan setelah itu masuk periksa saksi atau ahli dari terdakwa. Kali lalu pemeriksaan ahli berjalan alot, baik ahli dari RS Bayangkari maupun ahli dari LPSK," katanya.
Kepada Reporter POS-KUPANG.COM, Kamis (21/8/2025) , Akhmad Bumi menjelaskan fakta atas perkara ini telah terbentuk walau sidang belum berakhir.
Baca juga: LIPSUS: Konten Porno Anak Dijual Rp 100 Ribu di Grup Facebook Fantasi Sedarah
Dari pemeriksaan yang berjalan maraton dan melelahkan ini, fakta secara umum telah ada dan sudah terbentuk.
“Ya secara umum fakta sudah terbentuk. Kuasa Hukum terdakwa, Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini sudah mengetahui fakta tersebut sesuai kepentingan masing-masing”, tambahnya.
Menurut Akhmad Bumi, ada tiga hal dari rangkaian fakta yang sementara terungkap dalam persidangan.
Pertama, ada anak-anak yang menjalankan aktivitas prostitusi online. Fakta ini tepat disebut produsen karena mereka selaku penyedia barang, ada ketersediaan barang dan jasa dari produsen yang ditawarkan pada konsumen.
Ada hak dan kewajiban dan mereka saling membutuhkan, saling menguntungkan, tidak saling merugikan.

”Bagi saya tidak tepat menggunakan diksi korban, kalau korban harus ada yang dirugikan, faktanya mereka saling menguntungkan, tidak saling merugikan, olehnya tepat gunakan diksi produsen dan konsumen”, jelas Akhmad Bumi.
Kedua, konsumen yang tertarik dengan barang dan jasa yang ditawarkan produsen, konsumen tertarik dan berminat dengan barang yang ditawarkan. Disitu ada kontak kesepakatan, ada barang, ada harga, ada hak dan kewajiban dalam kesepakatan.
Hak dan kewajiban produsen dan konsumen ini dilindungi dalam undang-undang. Jika ada pihak produsen dan konsumen dirugikan, ada ruang penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Jika buntu penyelesaian di BPSK maka dibawah ke rana pengadilan. Ada juga Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Baca juga: LIPSUS: Tersangka Fani Pemasok Anak untuk Eks Kapolres Ngada Menangis Dihadapan Jaksa
Ketiga, adanya mucikari sebagai perantara atau pengasuh.
Tiga fakta yang sementara terbentuk tersebut, pertanyaan kita kenapa bisa terjadi, analisis sementara kami jelas bahwa itu akumulasi dari banyak tekanan hidup.
Menurutnya, ada tekanan ekonomi, pendidikan yang rendah, bergaul pada lingkungan yang negatif, perkembangan tekhnologi informasi yang pesat, ada disfungsi keluarga, dan juga gaya hidup hedonis.
"Mereka butuh uang untuk hidup, butuh beli pakaian, butuh beli handphone android juga iPhone. Dan mereka berada pada usia produktif tapi putus sekolah. Ini tekanan hidup dan gaya hidup hedon," ungkapnya.
Ada disfungsi keluarga, ada anak keluar sore dan pulang dini hari tapi sebagai orang tua tidak pernah ada gelisah dan tidak mencari anak, konteks ini perlu didalami lebih lanjut.

Dan bukan hanya sekali, tapi anak sudah terbiasa keluar sore dan pulang dini hari, lebih dari satu kali, bukan terjadi secara tiba-tiba tapi ini akumulasi dari berbagai tekanan hidup, fenomena dari kasus ini menjadi tanggungjawab semua pihak.
Pemerintah perlu perhatikan kebijakan untuk tekan angka kemiskinan dan perlu berikan pendidikan biaya murah atau gratis pada anak-anak, ini soal masa depan anak-anak dan daerah.
Disfungsi keluarga menjadi tanggungjawab orang tua, sangat penting untuk diperhatikan, orang tua perlu diintervensi para tokoh agama untuk perkuat iman sebagai filter dalam pergaulan anak-anak ditengah kehidupan yang keras seperti ini, pihak sekolah perhatikan kurikulum untuk penguatan moral anak-anak.
Baca juga: APPA NTT Ingatkan Restitusi untuk Korban Kejahatan Eks Kapolres Ngada Fajar Lukman
Perkembangan informasi yang pesat seperti saat ini, perlu ada filter atau ketahanan diri yang kuat pada anak-anak ditengah pergaulan yang bebas, jadi bukan hanya tanggung jawab pihak penegak hukum.
Kalau penegak hukum menangani jika kasusnya sudah dihilir, perlu diperkuat dari hulu. Kerja-kerja penegakan hukum (Pengacara, Polisi, Jaksa, Hakim), juga konseling oleh LPSK atau lembaga lain itu ketika kejadian sudah terjadi.
Tapi lebih penting mencegahnya dari hulu dengan kompleksitas masalah dari kejadian seperti fakta yang ditemukan ini. (ria)
Pengacara Akhmad BUmi Cederai Martabat Pelaku
Diksi tentang produsen dan konsumen yang digunakan pengacara Akhmad Bumi terhadap korban, mencederai pembelaannya terhadap pelaku dan merendahkan martabat pelaku sebagai aparat negara yang mestinya melindungi kelompok rentan anak dan perempuan, tapi sebaliknya pembeli barang dagangan.
"Diksi ini sekaligus mempermalukan lembaga kepolisian dengan nenunjuk pada keterlibatan jual beli seks anak itu adalah masuk dalam kualifikasi hubungan produsen dan konsumen bukan pelaku dan korban," kata aktifis kemanusiaan, Pdt Emi Sahertian, saat menanggapi pernyataan Akhmad Bumi, pengacara dari eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman, beberapa waktu lalu di Pos-Kupang.com.
Menurut Pdt Emi Sahertian, diksi pengacara Akhmad Bumi ini juga telah mempermalukan negara yang telah mensahkan UU perlindungan Anak serta UU TPKS, TPPO bahkan menodai kemanusiaannya sebagai orang beragama.

"Menurut saya, ini pelanggaran etika dalam profesinya sebagai pembela dan tidak pantas dilontarkan oleh seorang pengacara," tegas Pdt Emi Sahertian.
Terkait poisis Fani dalam kasus kekerasan seksual dan pelecehan terhadap tiga anak yang dilakukan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman, Pdt Emi Sahertian, mengatakan, tersangka ini dimanfaatkan dan diciptakan menjadi "pelaku" karena kerentanannya sebagai perempuan muda yg pernah mengalami perundungan seksual sehingga mestinya para pembelanya perlu memiliki perspektif yang kuat.
"Bila tidak maka Fani akan bisa saja digadang sebagai "produsen" seksual anak. Bahkan bisa saja dijadikan pelaku utama serta meringankan hukuman terhadap Fadjar. Padahal Fajar merupakan bagian dari Sexual Cyber Crime internasional. Ibarat Fani akan dijadikan "kelambu" yang membuat kejahatan extraordinari Fajar menjadi bayang bayang kabur, sekaligus untuk melabur organisasi kepolisian yang telah dipermalukan itu," kata Pdt Emi Sahertian.
Baca juga: Ketua LPA NTT dan Pendamping Korban Kasus Eks Kapolres Ngada Ungkap Kondisi Korban
Karena itu, Pdt Emi Sahertian berharap agar Hakim yang menyidangkan perkara kes Kapolres Ngada, AKBP Fajar LUkman dan tersangka Fani itu, bisa terang benderang menegakkan keadilan karena kasus ini telah menjadi kasus publik.
"Semoga hakim "berani" memutuskan yang adil dan benar dan tidak dipengaruhi oleh posisi pelaku yang memiliki relasi kekeluargaan dengan petinggi POLRI," kata Pdt Emi Sahertian.

Pdt Emi Sahertian juga berharap agar KOmisi Yudisial (KY) NTT benar-benar independen dalam mengawal secara utuh dan profesional terhadap proses pengadilan. "KY juga mesti jeli mengamati para aparat pengadilan terurama Jaksa dan Hakim agar tidak terjadi friksi, masuk angin," harap Pdt Emi Sahertian.
Untuk para Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar LUkman dan Fani, dihadapkan bisa berpihak ada korban.
Baca juga: LIPSUS: Tensi Darah AKBP Fajar Tinggi Eks Kapolres Ngada Pakai Rompi Orange 26 Ditahan di Rutan
"JPU harus jeli mengkaji kasus kejahatan, jeli melihat alat kelengkapan hukum, kuat dalam perspektif dan argumentasi hukum yang berpihak pada kelompok anak dan perempuan terutama jeli melihat dan menafsir kerentanan korban dan kerentanan manipulatif pelaku serta pendukungnya," harap Pdt Emi Sahertian.
Pdt Emi Sahertian juga berharap agar para korban dan keluarga bisa tetap kuat menjalani proses hukum ini. "Ada sedikit kekhawatiran bahwa keluguan mereka diduga bisa dimanfaatkan oleh pembela pelaku untuk menyimpulkan bahwa mereka biasa saja dan tidak ada kerugian berat. Sehingga perlu pengujian mendalam secara psokologik klinis dan psikologik forensik selain hasil otopsi," kata Pdt Emi Sahertian. (vel)
*Sarah Lery Mboeik : Logika Pengacara Akhmad Bumi Dangkal Terkait HAM dan Keadilan
Direktris PIAR NTT, Ir. Sarah Lery Mboeik menilai logika Akhmad Bumi, pengacara eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman, dangkal terkait HAM dan Keadilan terhadap korban.
Menurut Sarah Lery MBoeik, dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman itu, pengacara Akhmad Bumi harus melihatnya sebagai bentuk pelanggaran HAM dan Kewadilan bukan Transaksi Bisnis.
"Sangat disayangkan pernyataan pembelaan pengacara yang bias ini. Harusnya kasus ini dilihat sebagai masalah pelanggaran HAM dan keadilan bukan transaksi bisnis. Logika pengacara menggambarkan begitu dangkalnya perspektif maupun pengetahuan HAM dan keadilan, hanya karena ingin memenangkan clientnya dalam kasus TPKS dan TPPO yang korbannya adalah perempuan dan bahkan anak-anak," tegas Sarah Leri Mboeik, Minggu (24/8).
Menurut Sarah Leri Mboeik, yang harus dia (Akhmad Bumi) lihat adalah bagaimana keadilan ditegakkan dan hak-hak korban dipenuhi.
"Pernyataannya beliau menggambarkan dangkalnya pemahaman beliau soal penghargaan terhadap hak asasi perempuan dan anak yang telah dirusak oleh seorang perwira (kapolres). Bagaimana mungkin perwira lembaga kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat, termasuk anak-anak, justru melakukan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS), memperkosa, dan mengeksploitasi tubuh anak-anak," kata Sarah Lery Mboeik.

Sarah Lery Mboeik juga tak habis pikir, bagaimana mungkin aparat penegak hukum, yang seharusnya membongkar kasus-kasus kejahatan ”pornografi daring” pada anak-anak, justru menjadi pelaku kejahatan tersebut, bahkan memproduksi konten-konten pornografi dikirim ke Australia, Justru ini yang harus diperberat pidananya.
Terkait perbedaan perspektif antara para pihak yang berperkara seperti JPU dan Pengacara terdakwa, pun para pihak yang menangani perkara seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, bagi Sarah Leri Mboeik itu wajar saja terjadi. Namun hendaknya perspektif itu tidak melanggar nilai-nilai HAM dan Keadilan bagi korban.
"Kita mungkin memiliki perspektif yang berbeda, tapi tidak harus dangkal. Nilai-nilai HAM dan keadilan ini yang perlu diinternalisasi dalam cara pandang siapapun, termasuk mereka apalagi pelaku yg nota bene seorang Kapolres," kritik Sarah Leri Mboeik.
Bagi Sarah Lery Mboeik, pernyataan Akhmad Bumi selaku pengacara dari eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman itu Ini sudah terindikasi masuk dalam pelanggaran profesi.
"Pernyataan itu terindikasi melanggar profesi, karena tidak menghargai hak-hak korban, apalagi perempuan dan anak perempuan, dan tidak mempertimbangkan dampaknya pada korban anak2 yang akan memiliki masa depan panjang penuh dengan trauma," nilai Sarah Lery Mboeik.
Bagi Sarah Lery Mboeik, penasihat hukum atau perngacara bukan hanya membela kepentingan kliennya tapi mesti juga mempertimbangkan dampaknya kepada korban.
Baca juga: Kejati NTT Prihatin, Jamin Tim JPU Siap Perang Buktikan Perbuatan Eks Kapolres Ngada
Sarah Lery Mboeik berharap agar para pihak yang menangani kasus ini, yakni Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan majelis hakim PN Kota Kupang bisa menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik dan benar.
"Semoga polisi, jaksa dan para hakim tidak masuk angin, tawar menawar, terhadap kasus ini dimana pelakunya adalah seorang eks Kapolres. Maka itu harus dihukum seberat-beratnya dan kami masyarakat sipil akan terus melakukan pengawalan kasus ini dengan hukuman maximal, hukuman seumur hidup," tegas Sarah Lery Mboeik.
Akhmad Bumi yang hendak dikonfirmasi Pos Kupang, Minggu (24/8) siang, belum bisa dihubungi. Pos Kupang mencoba menhubungi Akhmad Bumi melalui telepon WA dan pesan WA, namun belum dijawab. (vel)
*Ketua LPA NTT Tory Ata : Pernyataan Akhmad Bumi Menyesatkan, Tidak Paham Regulasi
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NTT, Veronika ta, SH, MH menilai pernyataan Akhmad Bumi selaku pengacara eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman, terkait diksi produsen dan kosumen dalam perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak yang disidangkan di PN kupang itu, adalah sebuah pernyataan yang menyesatkan.
Bahkan pernyataan seperti itu, tegas Veronika Ata, menunjukkan bahwa Akhmad Bumi selakau kuasa hukum itu tidak paham dan bertentangan dengan regulasi UU Perlindungan Anak, UU TPKS dan UU TPPO serta konvensi anak.
"LPA NTT menegaskan, pernyataan tersebut keliru dan menyesatkan. Hal ini menunjukkan Kuasa Hukum tidak memahami regulasi perlindungan anak, bahkan bertentangan dengan UU Perlindungan Anak, UU TPKS, UU TPPO, dan Konvensi Hak Anak.
Dalam kasus kekerasan seksual, anak selalu diposisikan sebagai korban. Hukum tidak mengenal istilah “produsen–konsumen” dalam konteks tubuh manusia. Mengatakan anak “menjual jasa” sama saja dengan mengobyekkan tubuh anak," tegas Veronika Ata, Minggu (24/8) siang.
Menurut Veronika Ata, Jika anak terlibat dalam prostitusi online, maka itu adalah bentuk eksploitasi seksual, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU Perlindungan Anak yang berbunyi “Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual wajib dilindungi dari tindakan yang menimbulkan penderitaan fisik, mental, dan sosial.”
Baca juga: Andreas Hugo Minta Masyarakat Beri Informasi Ada Kejanggalan Proses Kasus Eks Kapolres Ngada
Menurut Veronika Ata , pernyataan Ahmad Bumi kepada wartawan diluar persidangan itu patut ditanggapi agar semua pihak, baik masyarakat maupun jaksa dan hakim yang menyidangkan perkara eks kapolres Ngada ini bisa memahami dengan baik konteks kasus ini tidak bisa disamakan dengan kasus antara produsen dan konsumen.
Bahwa bisa saja pernyataan Akhmad Bumi seperti itu juga disampaikan dalam persidangan yang tertutup. Karena itu, pernyataan Akhmad Bumi mesti ditangapi dengan baik dan benar.
"Saya terpanggil untuk menanggapi pernyataan Akhmad Bumi tersebut, agar diksi Produsen dan Konsumen yang disampaikan Akhmad Bumi dalam perkara ini tidak menyesatkan publik juga para hakim.
Veronika Ata mengatakan, Pengacara Akhmad Bumi tidak pantas berujar sedemikian rupa. "Advokat memang berhak membela klien, tetapi tidak boleh menyalahkan korban, merendahkan martabat anak atau melukai psikologis korban. Pernyataan ini bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan menyesatkan publik," kata Veronika Ata.
Lebih jauh Veronika Ata mengatakan, pengacara dan advokat yang membela kliennya itu memiliki kode etik dan dia wajib untuk Membela klien dengan tetap menghormati hukum, etika, dan martabat manusia. "Pengacara dan Advokat juga tidak boleh menyebarkan narasi yang menyudutkan korban. Dan dia harus menjunjung keadilan, bukan sekadar memenangkan perkara. Tapi narasi yang dibangun oleh pengacara Akhmad Bumi itu menyesatkan," tegas Veronika Ata.
Baca juga: Kasus Pelecehan Anak Eks Kapolres Ngada, 30 Lembaga Gelar Aksi Damai di Pengadilan Negeri Kupang
Veronika Ata juga menilai pernyataan Akhmad Bumi keada wartawan di media Pos KUpang itu terindikasi melanggar Kode Etik Advokat. Karena dalam Kode Etik Advokat Indonesia, advokat dilarang untuk Bertindak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum, dilarang Menyampaikan pernyataan yang merendahkan martabat orang lain dan dilarang Menyalahgunakan profesi untuk kepentingan yang tidak adil.
"Dengan menyebut anak sebagai “produsen” dan “tidak dirugikan,” kuasa hukum terindikasi melanggar kode etik," kata Veronika Ata.
Lebih lanjut Veronika Ata berharap, agar para Hakim PN Kota Kupang yang enyidangkan perkara eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman dan Fani itu tetap berpijak pada hukum yang berlaku, fakta persidangan, dan perspektif perlindungan anak.
Baca juga: Sidang Perdana Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman Mengaku Ingat Istri Anak
"Hakim harus tegas menolak narasi yang menyalahkan korban, serta menjatuhkan putusan yang adil, memberi efek jera bagi pelaku dan memberi pelajaran bagi publik," kata Veronika Ata.
Dan Veronika Ata yakin bahwa majelis hakim yang menangani kasus eks Kapolres Ngada adalah hakim yang berkualitas dan berintegritas. "Sehingga apapun fakta persidangan yang ada, hakim dapat mengadili secara profesional dan punya perspektif perlindungan anak," yakin Veronika Ata.
Lebih Lanjut Veronika Ata mengatakan, Komisi Yudisial (KY) NTT yang telah ikut mengawal kasus ini bisa lebih menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik. "Saya harapkan KY bisa melakukan pengawasan agar hakim konsisten, bebas dari intervensi, dan menjaga integritas peradilan," harap Veronika Ata.
Terhadap sembilan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menanganai perkara dimaksud, Veronika Ata berharap agar dakwaan yang telah disusun dan dibacakan itu bisa dibuktikan di persidangan.

"JPU semoga bisa memberikan tuntutan yang tegas, berpihak pada korban, serta menolak narasi menyesatkan. Jaksa adalah wakil kepentingan korban dan masyarakat," kata Veronika Ata.
Kepada pihak LPSK, Veronika Ata berharap agar LPSK bisa mengawal implementasi Restitusi bagi korban agar benar dipenuhi.
"LPSK diharapkan bukan hanya menghitung kerugian korban, tapi mesti memastikan agar korban dan saksi-saksi bisa dilindungi agar bisa memberikan pernyataan yang benar di persidangan dan tidak mendapatkan intervensi dari pihak manapun," kata Veronika Ata.
Veronika Ata juga berpesan kepada korban agar mereka tetap kuat, semangat dan jujur dalam bersaksi.
Baca juga: Puisi Spesial untuk Eks Kapolres Ngada Fajar Lukman dari Perempuan Disabilitas
"Kalian tidak salah. Pelaku dewasa, apalagi aparat penegak hukum, yang salah karena menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar hukum. LPA NTT dan semua komponen masyarakat mendukung penuh korban dalam menghadapi proses hukum," kata Veronika Ata.
Diakhir pernyataannya, Veronika Ata kembali menegaskan bahwa anak dalam prostitusi online adalah korban eksploitasi seksual, bukan relasi Konsumen Produsen.
"Hukum tidak mengenal istilah ini dalam konsep tubuh manusia. Pengacara seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan yang menyalahkan korban, tidak menyesatkan. Kami menyerukan agar semua pihak, baik aparat penegak hukum, dan masyarakat, bersama-sama berpihak pada perlindungan anak, keadilan, dan pemulihan korban," kata Veronika Ata.
Menurut Veronika Ata, proses penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak ini sedang dalam persidangan, dan sebentar lagi akan ada putusan dari majelis hakim. Karenanya Veronika Ata berharap agar semua pihak terkait bisa berperan untuk mengawasi jalannya proses persidangan yang tertutup itu.
Baca juga: LIPSUS: Tersangka Fani Pemasok Anak untuk Eks Kapolres Ngada Menangis Dihadapan Jaksa
"Mari semua pihak baik Pemerintah, APH, Tokoh Agama, aktifis, Perguruan Tinggi, masyakat, pers maupun semua komponen masyarakat untuk mendukung korban dan keluarga. Kita kawal proses hukum kasus ini agar benar-benar memberikan rasa keadilan bagi korban dan tidak mencederai penegakan hukum," kata Veronika Ata.
Bahkan Veronika Ata mengatakan, masyarakat mestinya bisa memberikan informasi apapun dan berani mengungkapkan jika mengetahui ada hal-hal yang bisa mengintervensi proses penegakan hukum yang tengah berlangsung.
"Jika mengetahui informasi atau hal-hal yang terindikasi mencederai proses penegakan hukum kasus eks kapolres Ngada, serta mencederai rasa keadilan, Mari berani berbicara, berani uangkapkan demi mencapai keadilan," kata Veronika Ata.
Akhmad Bumi yang hendak dikonfirmasi Pos Kupang, Minggu (24/8) siang, belum bisa dihubungi. Pos Kupang mencoba menhubungi Akhmad Bumi melalui telepon WA dan pesan WA, namun belum dijawab. (vel)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Sidang eks Kapolres Ngada dan Fani
Akhmad Bumi
POS-KUPANG.COM
Fajar Lukman
Fani
Veronika Ata
Sarah Lery Mboeik
Pdt Emi Sahertian
Dr. Mikhael Feka: Anak yang Terlibat dalam Praktek Prostitusi adalah Korban |
![]() |
---|
Saksi Ahli Deddy Manafe Sebut UU Tidak Atur Anak yang Melacurkan Diri itu adalah Korban |
![]() |
---|
Dany Manu Menilai Akhmad Bumi Pengacara Fajar Lukman Lakukan Kesalahan Fatal |
![]() |
---|
Terdakwa Fani Tegaskan Keterangan eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Lukman Penuh Kebohongan |
![]() |
---|
Sarah Lery Mboeik : Logika Pengacara Akhmad Bumi Dangkal Terkait HAM dan Keadilan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.