Sidang eks Kapolres Ngada dan Fani

Pdt Emmy Sahertian Tekankan Aparat Negara Lakukan Transaksi Seksual dengan Anak di Bawah Umur 

Pdt. Emmy Sahertian mengatakan, orang dewasa yang memiliki power untuk melindungi sebaliknya telah menjerumuskannya dalam transaksi sesat

|
PK/HO
Pendeta Emmy Sahertian, M.Th 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, OMDSMY Novemy Leo

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pdt. Emmy Sahertian mengatakan, yang dia tahu dan paham bahwa  UU Indonesia sudah mengatur tentang Anak seperti UU PA  no 35.tahun 2014 yang menjadi acuan penanganan kasus mantan Kapolres Ngada , FajarLukman.

"Pelibatan anak dan oerempuan rentan  dalam transaksi seksual baik langsung maupun melalui media elektronik merupakan kejahatan extraordinari. Apalagi anak yang menjadi obyek dalam kejahatan ini merupakan kelompok rentan yang innocent artinya bahwa anak itu tidak memahami  dan tidak memiliki skill “self guiding”   sehingga mudah  diiming-iming uang lalu dia sendiri tidak menyadari  bahwa  dia adalah korban," kata Pdt. Emy Sahertian, Rabu (17/9/2025) petang.  

Baca juga: LIPSUS: Tensi Darah AKBP Fajar Tinggi Eks Kapolres Ngada Pakai Rompi Orange 26 Ditahan di Rutan

Pdt. Emmy Sahertian mengatakan, dalam hal ini orang dewasa yang memiliki power untuk melindungi sebaliknya telah menjerumuskannya dalam transaksi sesat yang akan menodai  masa depannya (anak).

Bahwa orang dewasa yang melakukan transaksi seksual dengan anak di bawah umur telah menciptakan  kehidupan sesat bagi anak perempuan innocent.

"Ini sebuah kebiadaban yang dipertontonkan kepada publik dimana dampaknya massif sebagai  sebuah pembelajaran sesat," kata Pdt. Emmy Sahertian.

Pdt. Emmy Sahertian mengatakan, kasus eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman ini merupakan kasus pelanggaran HAM terhadap anak dan perempuan kelompok rentan.

Baca juga: Kasus Eks Kapolres Ngada, Akhmad Bumi: Ada Kesepakatan Produsen dan Konsumen

"Dalam hal ini telah terjadi pelanggaran HAM terhadap anak dan  perempuan kelompok rentan. Kita juga perlu mempertimbangkan korban dewasa dan juga F yang dituduh sebagai pelaku. Mereka adalah kelompok rentan yang “lack of self guiding”  terhadap tubuh dan hidup mereka, yang kemudian dimanfaatkan oleh seorang laki laki yang disebut Aparat  Negara," kata Pdt. Emmy Sahertian.

Karenanya, perbuatan eks Kapolres Ngada Fajar Lukman dengan dua korban anak itu bukan suka sama suka.

"Dalam logika HAM yang menjadi acuan akademik produkt UU Perlindungan Anak (PA) ini maka mereka disebut korban yang tereksploitasi karena perbuatan atau consent, non-consent , bukan suka sama suka" kata Pdt. Emmy Sahertian.

Pdt. Emmy Sahertian juga menanggapi pandangan ahli  hukum Pidana Deddy Manafe dari Undana tentang UU ITE dalam kasus ini, yang diberikannya usai menjadi saks ahli dalam sidang perkara eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, di Pengadilan Negeri Kota Kupang.

Baca juga: Saksi Ahli Deddy Manafe Sebut UU Tidak Atur Anak yang Melacurkan Diri itu adalah Korban

Pdt. Emmy Sahertian, dari pengalamannya dalam melakukan advokasi KBG dan KS, baik yang langsung maupun online,  bahwa Video michat itu dibuat, disebarkan dari NTT, ditemukan oleh tim polisi yang memberantas Cyber Crime di Australia.

"Ini bukan soal penyebaran video mesum saja tetapi perundungan sexual terhadap anak sebagai obyek video itu terjadi di sebuah hotel di Kota Kupang, NTT," kata Pdt. Emmy Sahertian

Hal itu berarti bahwa lokasi dan peristiwa hukumnya ada di Kota Kupang, Provinsi NTT, Indonesia.

"Sehingga Bagi saya video tersebut menjadi  bukti tambahan untuk memperkuat aduan pelanggaran UU PA  sebagai hukum yang mengatur kejahatan extraordinari terhadap perempuan rentan dan anak di bawah umur," kata Pdt. Emmy Sahertian.

Pdt. Emmy Sahertian menilai, Deddy Manafe lupa atau mengabaikan perspektif anak dan perempuan rentan yang dijerumuskan dalam kejahatan seksual online itu. Pdt Emmy Sahertian juga menggugah integritas DEddy Manafe sebagai ilmuwan dan akademisi 

Baca juga: Ketua LPA NTT Tory Ata : Pernyataan Akhmad Bumi Menyesatkan, Tidak Paham Regulasi

"Dalam hal ini saya berseberangan dengan adik Deddy, yang lupa atau mengabaikan perspektif anak dan perempuan rentan yang dijerumuskan dalam kejahatan seksual  online ini. Apalagi argumentasi ini mestinya mewakili argumentasi seorang akademisi. Meskipun  merupakan saksi ahli pelaku tetap integritas ilmuwan dan akademisi mesti menjadi  marwah argumentasi," kata Pdt. Emmy Sahertian.

Pdt. Emmy Sahertian juga mempertanyakan keberpihakan Deddy Manafe yang terkesan ambigu.

"Hal ini juga yang membuat saya bertanya tentang  keperpihakan yang kelihatan ambigu.  Karena bagi saya hüküm bukan sekedar kompromi politis dengan meminjam alat retorika untuk mencari celah untuk meringankan  pelaku  yang memiliki kekuatan dukungan keluarganya dan orang orang dekatnya yang disebut “orang kuat”, tetapi kerangka logis hukum adalah moral dań kemanusiaan  yang adil dan beradab,yang telah dirumuskan dalam Pancasila dan Konstitusi, tetapi diatas segalanya adalah kebenaran Tuhan," kata Pdt Emmy Sahertian.

Baca juga: Akhmad Bumi : Yang Diproduksi dan Dikonsumsi Bukanlah Manusia Melainkan Jasa

Pdt. Emmy Sahertian juga mempertanyakan pakar hukum dan HAM Akhmad Bumi. Hal ini terkai dengan pernyataan Akhmad Bumi sebelumnya terkait transaksi seksual antara korban anak dan terdakwa Fajar Lukman melalui aplikasi michat dengan diksi produsen dan konsumen.    

"Hal ini membuat saya mempertanyakan bukan saja Deddy Manafe tetapi juga sdr. Ahmad bumi sebagai  para pakar hukum dań HAM yang dimiliki NTT, saat ini. Benarkah kalian berjalan pada jalan keadilan dan kebenaran yang tidak bisa dihargai oleh apapun," kata Pdt Emmy Sahertian

*Deddy Manafe: Sudut Pandang Masing-Masing

Menanggapi pernyataan Pdt Emmy Sahertian, Deddy Manafe, SH, M.Hum mengatakan, komentar itu benar. Namun tentunya setiap peristiwa mesti dilihat dari sudut pandang masing-masing  

"Apa yang ma emy (Pdt Emmy Sahertian) bilang benar. semua komentar yang lain juga benar. itu dari sudut pandang masing-masing," kata Deddy Manafe, dikonfirmasi, Kamis (18/9/2025) siang.

Paling tidak, kata Deddy Manafe, pertama dilihat relasi negara dengan warga negara. negara wajib melindungi kelompok rentan.

Kedua, tujuan atau keutamaan hukum, ketika kepastian hukum berbenturan dengan keadilan hukum dan kemanfaatan hukum.

"Ketiga, fungsi aparat penegak hukum yang wajib mengayomi dan melindungi masyarakat, termasuk anak perempuan. Keempat, pelacur pada umumnya diposisikan sebagai korban tindak pidana," tambah Deddy Manafe.

Dr. Deddy Manafe, akademisi hukum Undana Kupang. 
Dr. Deddy Manafe, akademisi hukum Undana Kupang.  (POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI.)

Menurut Deddy Manafe, hal itu semua benar. Namun, bagi Deddy Manafe yang ada hal-hal lain yang belum dilihat lebih jauh.

"Pertama, kondisi psikologis pelacur anak dan laki-laki dewasa konsumennya yang SAKIT JIWA, sehingga kedua pihak butuh pertopongan, bukan peradilan pidana dan pemidanaan," kata Deddy Manafe.

Deddy menegaskan, perbedaan mendasar antara anak yang dilacurkan orang lain sebagai korban menurut UU dengan anak yang melacurkan diri sendiri sebagai bagian dari penyakit masyarakat bersana perjudian, alkoholisme, dan narkoba.

"Ini logiikanya persis ketika UU memposisikan konsumen narkoba yang dahulu jadi pelaku, sekarang jadi orang sakit dan butuh ditolong. memang agak sulit untuk menerima logika hukum seperti ini," kata Deddy Manafe.

Baca juga: Ketua LPA NTT Tory Ata : Pernyataan Akhmad Bumi Menyesatkan, Tidak Paham Regulasi

Bagi Deddy Manafe, anak itu tidak murni orang yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban pidana. UU Sustem Peradilan Anak hanya memoerhalus makna terpidana dengan anak yang berkonflik dengan hukum.

"Anak yang sudah berusia 12 sampai belum 18 tahun bisa dipidana dengan bobot pidana setengah dari bobot pidana orang dewasa. Artinya, anak yang melacurkan diri, tidak bisa juga kita bilang tidak berdosa," jelas Deddy Manafe.

Menurut Deddy Manafe, dia tidak bahagia dengan UU tersebut, tapi itulah UU yang ada. "Saya tidak bahagia dengan pengaturan UU terkait hal ini. Akan tetapi, itulah UU kita. Kalau ada pedofilia, maka ada juga oedipus komplex. Persoalannya, kalau kedua orang sakit ini bertemu dalam transaksi seksual, maka peradilan pidana dan penjara bukan obat yang tepat bagi mereka," jelas Deddy Manafe. (vel)

*Saksi Ahli Deddy Manafe Sebut UU Tidak Atur Anak yang Melacurkan Diri itu adalah Korban

Deddy Manafe, SH, MHum, saksi ahli dari terdakwa eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, menyebutkan bahwa anak yang melacurkan diri untuk mendapatkan uang itu adalah inisiatif anak sendiri dan UU tidak atur anak yang melacurkan diri itu adalah korban.

Hal ini disampaikan oleh Dedy Manafe, usai diperiksa sebagai saksi ahli dari terdakwa Fajar Lukman, dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri Kota Kupang, dalam perkara kekerasan terhadap anak yang dilakukan Fajar Lukman, Senin (16/9/2025) siang.

Dalam video, Dedy Manefe menjelaskan, dia dan tim penasihat hukum terdawa eks Kapolres Ngada tidak bahagia dengan kondisi yang terjadi saat ini. Namun UU RI belum mengatur tentang anak yang melacurkan diri itu disebut sebagai korban.

Pengamat Hukum NTT, Deddy Manafe, S.H M.H dalam Podcast Pos Kupang, Kamis, 12 Mei 2022
 
Pengamat Hukum NTT, Deddy Manafe, S.H M.H dalam Podcast Pos Kupang, Kamis, 12 Mei 2022   (POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI)

“Saya sebagai ahli dan teman-teman PH semua tidak bahagia  dengan kondisi ini. Tetapi yang pertama, secara hukum materiil,  UU kita belum mengatur tentang anak yang melacurkan diri itu sebagai korban. Baru menjangkau anak yang dilacurkan. Itu hal yang berbeda,” kata Deddy Manafe, aktifis yang konsen terhadap perempuan dan anak ini. 

Dedy Manafe menilai, anak yang melacurkan diri itu berarti anak itu berinisiatif untuk melacurkan dirinya dan menjadikan hal itu sebagai profesi untuk mendapatkan upah tertentu.

“Karena kalau dilacurkan itu berarti ada orang lain yang mengeksploitasi dia. Sedangkan anak yang melacurkan diri berarti dia niatnya inisiatif datang dari dirinya dia dan dia menjadikan itu sebagai  profesi dia untuk mendapatkan upah tertentu. Dan itu UU kita belum menjangkau itu,” kata Dedy Manafe, aktifis Hak Asasi Manusia (HAM) ini.

Kedua, jelas Dedy Manafe, proses penanganan perkara ini cacat formil, hukum acara dilangkahi.  

Baca juga: Terdakwa Fani Tegaskan Keterangan eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Lukman Penuh Kebohongan

“Bagaimana perkara ini bisa berjalan. Bahwa kita sedih bahwa ada anak yang terlibat dalam dunia pelacuran itu kita sedih begitu. Tapi bukan berarti dengan cara itu kita menghukum orang dengan cara yang melangar hukum, tidak boleh,” kata pengajar hukum pidana militer ini. 

Menurut Deddy Manafe, jika hukum dimaksud belum mengakomodir maka harus ada reformasi hukum, bukan malah memaksakan perasaan untuk menghukum orang.

“Kalau dipandang bahwa hukum kita belum cukup kuat maka agendanya adalah bagaimana  kita mereformasi hukum kita ke depan. Bukan memaksakan konsep di kepala kita, perasaan kita untuk menghukum orang. Tidak bisa,” tegas Dedy Manafe, dosen Fakultas Hukum Undana Kuang ini. 

Kenapa? Karena menurut Dedy Manafe, hukum berbicara tentang substansi yaitu  aspek norma. Pembuktian dan hokum acara formilnya.

“Hukum kita berbicara tentang substansi yakni pengaturan normanya bilang apa, pembuktiannya bilang apa dan hukum acara formilnya bilang apa.  Itu hal yang harus kita paham. Kalau tidak, tidak bisa. Kira-kira begitu,” kata Dedy Manafe. 

Baca juga: Juliana Ndolu : Menormalisasi Kekerasan Seksual dengan Alasan UU Lemah Sama Kejinya dengan Pelaku 

Terkiat apa maksudnya dalam perkara ini hukum telah dilangkahi, Dedy Manafe mengatakan, karena perkara ini tidak ada laporan, tidak ada tangkap tangan dan tidak ada pengaduan.

“Pertama karena tidak ada laporan, tidak ada tangkap tangan,  tidak ada pengaduan. Berarti perkar tidak ada dong. Siapa yang bawa perkara ini kesini,” kata Dedy Manafe. 

Karena itu, Dedy Manafe mengatakan, dirinya akan mendrong pengacara eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman untuk mengajukan banding hingga melaporkan balik atas pelanggaran hokum yang terjadi pada eks kapolres Ngada. 

“Saya kira saya akan dorong teman-teman PH. Kalau pun misalnya beliau diputus untuk dipidana, banding. Kalau beliau (Fajar) diputus untuk bebas, dia lapor balik bahwa ada pelaggaran hukum terhadap diri dia. Dia ditahan selama ini berarti ada perampasan kemerdekaan dia. Kan begitu. Kan kita Negara hukum,” saran Dedy Manafe, aktifi kemanusiaan. 

Baca juga: Sidang Kasus Pelecehan Seksual Eks Kapolres Ngada Fajar Lukman Memasuki Tahapan Pemeriksaan Saksi

Lebih lanjut Dedy Manafe mengatakan, kedepan banyak hal yang harus dibenahi terkait hokum di Indonesia.

“Banyak hal yang harus dibenahi. Tapi kita tidak bisa menghukum orang berdasarrkan perasaan, opini publik. Tapi Harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Dalam artian, dia melangar tindak pidana apa.  Kemudian dia, pembuktiannya bagaimana dan hukum acaranya seperti apa. Itu penting, kalau tidak, ya, tidak bisa. Tidak ada perkara dong,” kata Dedy Manafe lagi. 

Dedy Manafe juga menyinggung tentang pelanggaran UU ITE yang dicantumkan oleh jaksa dalam dakwaan terhadap Fajar Lukman. Menurutnya, jika ada pelanggaran UU ITE maka Fajar Lukman mestinya disidangkan di Australia, bukan di Indonesia.

“Belum lagi kasus ini kalau pakei ITE maka locus deliktinya Australia, bukan Indonesia.  Hukum pidana kita tidak menjangkau sampai Australia.  Hukum pidana kita hanya berlaku di dalam wilayah teritori Indonesia gitu. Sehingga kalau orang Australia menginformasikan kepada kita. Kecuali orang Australia itu ada di dalam  wilayah Indonesia. Tapi kalau dia ada di wilayah Australia berarti hukum kita tidaa berlaku untuk itu. Terus ngapain orang ribut disana, kita juga ribut disini,” jelas Dedy Manafe, ahli pidana ini.  

Baca juga: APPA NTT Menuntut Proses Peradilan Kasus Eks Kapolres Ngada Transparan dan Akuntabel

Apalagi, tambah Dedy Manafe, terbongkarnya kasus ini ada di Australia. Berarti locus delictinya, pelangaranya terjadi disana. Dan untuk itu, Fajar Lukman bisa diekstradiksi ke Australria.

“Diadili disana, bukan diadili disini. Kan bisa, kita kan punya perjanjian ekstradiksi dengan Australia. Mestinya Australai minta kita ekstradisi beliau untuk diadili disana. Karena video anda (Fajar Lukman) dibongkar disana, kan begitu. Sama seperti kita punya narkoba dan segala macam,  itu kan mereka minta untuk diekstradiksi,” kata Dedy Manafe memberi contoh. (vel)

*Kasus Eks Kapolres Ngada, Akhmad Bumi: Ada Kesepakatan Produsen dan Konsumen

Sebelumnya diberitakan,  Kasus  pelecehan seksual yang dilakukan terdakwa eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja yang digelar pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang telah memasuki pertengahan persidangan. 

Akhmad Bumi, SH, dan tim selaku kuasa hukum terdakwa Fajar, mengatakan, persidangan sudah di pertengahan, saksi-saksi hampir selesai diperiksa, demikian juga dengan para ahli.

"Tinggal ahli digital forensik Mabes Polri yang diperiksa minggu depan dan setelah itu masuk periksa saksi atau ahli dari terdakwa. Kali lalu pemeriksaan ahli berjalan alot, baik ahli dari RS Bayangkari maupun ahli dari LPSK," katanya.

Kepada Reporter POS-KUPANG.COM, Kamis (21/8/2025) , Akhmad Bumi menjelaskan fakta atas perkara ini telah terbentuk walau sidang belum berakhir. 

Dari pemeriksaan yang berjalan maraton dan melelahkan ini, fakta secara umum telah ada dan sudah terbentuk.

PENASEHAT HUKUM - Penasehat Hukum Terdakwa Fajar Lukman, Akhmad Bumi S.H saat ditemui awak media, Senin (14/7/2025) 
PENASEHAT HUKUM - Penasehat Hukum Terdakwa Fajar Lukman, Akhmad Bumi S.H saat ditemui awak media, Senin (14/7/2025)  (POS-KUPANG.COM/ MARIA SELFIANI BAKI WUKAK )

“Ya secara umum fakta sudah terbentuk. Kuasa Hukum terdakwa, Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini sudah mengetahui fakta tersebut sesuai kepentingan masing-masing”, tambahnya.

Menurut Akhmad Bumi, ada tiga hal dari rangkaian fakta yang sementara terungkap dalam persidangan.

Pertama, ada anak-anak yang menjalankan aktivitas prostitusi online. Fakta ini tepat disebut produsen karena mereka selaku penyedia barang, ada ketersediaan barang dan jasa dari produsen yang ditawarkan pada konsumen. 

Ada hak dan kewajiban dan mereka saling membutuhkan, saling menguntungkan, tidak saling merugikan. 

”Bagi saya tidak tepat menggunakan diksi korban, kalau korban harus ada yang dirugikan, faktanya mereka saling menguntungkan, tidak saling merugikan, olehnya tepat gunakan diksi produsen dan konsumen”, jelas Akhmad Bumi.

Baca juga: Ketua LPA NTT dan Pendamping Korban Kasus Eks Kapolres Ngada Ungkap Kondisi Korban 

Kedua, konsumen yang tertarik dengan barang dan jasa yang ditawarkan produsen, konsumen tertarik dan berminat dengan barang yang ditawarkan. Disitu ada kontak kesepakatan, ada barang, ada harga, ada hak dan kewajiban dalam kesepakatan.

Hak dan kewajiban produsen dan konsumen ini dilindungi dalam undang-undang. Jika ada pihak produsen dan konsumen dirugikan, ada ruang penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Jika buntu penyelesaian di BPSK maka dibawah ke rana pengadilan. Ada juga Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman dikawal pihak kepolisian menuju mobil tahanan untuk dibawah ke Rutan Klas IIB Kupang.
Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman dikawal pihak kepolisian menuju mobil tahanan untuk dibawah ke Rutan Klas IIB Kupang. (POS-KUPANG.COM/RAY REBON)

Ketiga, adanya mucikari sebagai perantara atau pengasuh.

Tiga fakta yang sementara terbentuk tersebut, pertanyaan kita kenapa bisa terjadi, analisis sementara kami jelas bahwa itu akumulasi dari banyak tekanan hidup.

Menurutnya, ada tekanan ekonomi, pendidikan yang rendah, bergaul pada lingkungan yang negatif, perkembangan tekhnologi informasi yang pesat, ada disfungsi keluarga, dan juga gaya hidup hedonis.

"Mereka butuh uang untuk hidup, butuh beli pakaian, butuh beli handphone android juga iPhone. Dan mereka berada pada usia produktif tapi putus sekolah. Ini tekanan hidup dan gaya hidup hedon," ungkapnya.

Ada disfungsi keluarga, ada anak keluar sore dan pulang dini hari tapi sebagai orang tua tidak pernah ada gelisah dan tidak mencari anak, konteks ini perlu didalami lebih lanjut. 

Dan bukan hanya sekali, tapi anak sudah terbiasa keluar sore dan pulang dini hari, lebih dari satu kali, bukan terjadi secara tiba-tiba tapi ini akumulasi dari berbagai tekanan hidup, fenomena dari kasus ini menjadi tanggungjawab semua pihak. 

Baca juga: Pengacara Eks Kapolres Ngada Fajar Lukman Komentari Tanggapan JPU  

Pemerintah perlu perhatikan kebijakan untuk tekan angka kemiskinan dan perlu berikan pendidikan biaya murah atau gratis pada anak-anak, ini soal masa depan anak-anak dan daerah.

Disfungsi keluarga menjadi tanggungjawab orang tua, sangat penting untuk diperhatikan, orang tua perlu diintervensi para tokoh agama untuk perkuat iman sebagai filter dalam pergaulan anak-anak ditengah kehidupan yang keras seperti ini, pihak sekolah perhatikan kurikulum untuk penguatan moral anak-anak.

Perkembangan informasi yang pesat seperti saat ini, perlu ada filter atau ketahanan diri yang kuat pada anak-anak ditengah pergaulan yang bebas, jadi bukan hanya tanggung jawab pihak penegak hukum.

Kalau penegak hukum menangani jika kasusnya sudah dihilir, perlu diperkuat dari hulu. Kerja-kerja penegakan hukum (Pengacara, Polisi, Jaksa, Hakim), juga konseling oleh LPSK atau lembaga lain itu ketika kejadian sudah terjadi. 

Tapi lebih penting mencegahnya dari hulu dengan kompleksitas masalah dari kejadian seperti fakta yang ditemukan ini. (ria)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved