Pulau Pasir

Pulau Pasir - Dandim Rote Ndao : Jangan Panas Panasi Orang Rote untuk Popularitas

klaim tentang Pulau Pasir tidak mewadahi keinginan seluruh masyarakat Kabupaten Rote Ndao. Jangan memanas-manasi oarang Rote.

Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/HO-KODIM 1627 ROTE NDAO
Dandim 1627/Rote Ndao, Letkol Inf Bayu Panji Bangsawan SSi, MHan. Terkait Pulau Pasir, Ia mengingatkan agar Jangan Panas-Panasi Atas Nama Orang Rote untuk Popularitas. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Mario Giovani Teti

POS-KUPANG.COM, BA'A - Komandan Distrik Militer atau Dandim 1627/Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Letkol Inf Bayu Panji Bangsawan mengingatkan berbagai pihak tidak mencari popularitas dengan mengangkat masalah Pulau Pasir ( Ashmore Reef ) mengatasnamai masyarakat Rote Ndao.

Ia menegaskan bahwa klaim tentang Pulau Pasir tidak mewadahi keinginan seluruh masyarakat Kabupaten Rote Ndao. Bayu Pandji Bangsawan juga mengingatkan agar tidak memanas-manasi oarang Rote.

"Jangan kita panasi di bawah, orang Rote ni bu! Padahal, dia tidak tahu orang Rote patah hati," tandas Bayu Pandji Bangsawan saat ditemui di Ba'a, Rote Ndao, Senin 7 November 2022.

"Jangan-jangan oknum pembawa nama Rote ini tidak tahu, bahkan tidak pernah datang Rote. Kalau sebut orang Rote, berarti tinggal dan cari makan di Rote. Jangan asal bawa nama orang Rote," tambahnya.

Menurutnya, orang Rote yang bermata pencaharian sebagai nelayan hanya 10 persen, itupun masyarakat campuran yang berasal dari Sulawesi. Orang Rote asli mayoritas adalah petani. Dengan demikian, klaim tentang Pulau Pasir tersebut tidak mewadahi keinginan seluruh masyarakat Rote.

Lebih lanjut Bayu Pandji Bangsawan menjelaskan tentang dasar hukum terkait Pulau Pasir.

Baca juga: Tokoh Masyarakat Adat NTT Pertanyakan Klaim Sepihak Pulau Pasir Oleh Australia

Sesuai Nota Kesepakatan (Memorandum of Undersanding/MoU) pada tahun 1974 antara Indonesia dan Australia kemudian ditindaklanjuti UNCLOS (Perjanjian Batas Laut) 1982, bahwa Pulau Pasir merupakan milik Australia dan disetujui oleh Pemerintah Indonesia dengan garis-garis batas yang jelas.

"Kalau kita mau klaim Pulau Pasir, maka negara harus usulkan ke PBB untuk diratifikasi ulang, baru kita bisa bergerak," ujar Bayu Pandji Bangsawan.

"Kalau tidak diratifikasi ulang, maka secara aturan internasional, kita tidak punya hak. Seandainya Australia menerapkan Hukum negara mereka, dalam nota kesepahaman yang dibuat antara negara Australia dan Indonesia, ada poin yang menerapkan bahwa nelayan Indonesia bisa memanfaatkan hasil laut di Pulau Pasir akan tetapi dengan syarat tertentu, antara lain untuk keperluan konsumsi, dan menggunakan alat tangkap tradisional seperti pancing, tapi jika nelayan kita masuk dengan tujuan menangkap ikan dengan tujuan bisnis dan menggunakan alat tangkap modern, maka negara Australia akan menangkap kapal tersebut, karena itu memang diatur dalam peraturan Negara Australia," ujarnya.

Bayu Pandji Bangsawan khawatir mereka yang angkat masalah Pulau Pasir punya tujuan khusus untuk membuat ketegangan kawasan.

Ia mencermati klaim orang yang ngaku-ngaku perwakilan orang Timor dan Rote. Ada dua klaim yang diangkat.

Pertama, alasan sejarah. "Karena Pulau Pasir ini sejak dahulu, nelayan Rote sering gunakan untuk tempat sandar kapal atau persinggahan demi mencari hasil laut terutama teripang atau dan ikan," katanya.

Menurut Bayu Pandji Bangsawan, kalau klaim berdasarkan alasan sejarah maka akan ada dampak.

Ia memberi contoh, China mencari ikan di laut Natuna Utara juga berdasarkan klaim sejarah, maka itu akan menguatkan kepentingan China di laut Natuna Utara. "Kita harus memandang Indonesia dalam satu kesatuan utuh jangan hanya sepenggal-penggal, seperti Pulau Pasir," ucapnya.

Baca juga: Timor Barat Tolak Klaim Australia Terhadap Pulau Pasir

Kedua, klaim berdasarkan jarak. Pulau Pasir lebih dekat Pulau Rote dibanding Australia. "Nah sekarang saya kasih contoh, Pulau Miangas lebih dekat mana Filipina atau Sulawesi? Lebih dekat dengan Filipina. Jadi kita berbicara harus lihat kondisi Indonesia dalam satu kesatuan seperti itu, jangan hanya sepotong," tandasnya.

Sebenarnya sederhana mekanismenya, lanjut bayu Pandji Bangsawan, yaitu melakukan lobi-lobi internasional. Apabila lobi-lobi disetujui, akan ada pembicaraan ulang antara Pemerintah Indonesia dan Australia.

"Nah setelah diputuskan oleh PBB, maka dibuatlah ratifikasi namanya. Kalau sudah seperti itu, dia masuk wilayah kita, kita bertindak. Jadi begitu, jangan sekedar beropini saja," tegasnya.

Klaim Pulau Pasir

Pemegang mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Laut Timor NTT, Ferdi Tanoni mempertanyakan klaim sepihak yang dilakukan oleh Australia terhadap Pulau Pasir.

Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) ini menyebut, Pulau Pasir pertama kali didatangi oleh seorang pelaut tahun 1642. Sejak itu nelayan disekitar ikut datang ke Pulau Pasir. 

"Sampai tahun 1974, saat itu Indonesia dan Australia menandatangani MoU. Ini perjanjian bukan apa-apa, terus datang lagi MoU tahun 1981 hingga puncaknya 1997," jelasnya ketika dihubungi via telepon, Kamis 3 November 2022. 

Pada tahun 1997, lanjut Ferdi Tanoni Pemerintah Pusat melakukan penandatanganan bersama Australia terkait dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batas tertentu di Pulau Pasir. 

Perjanjian itu, kata Ferdi Tanoni, tidak ditindaklanjuti. Artinya, pemerintah kedua negara tidak melanjutkan perjanjian itu dalam kesepakatan lanjutan. 

Pihaknya berencana membawa masalah ini ke Pengadilan Canberra Australia karena pemerintah setempat telah menganggap masyarakat adat sebagai sebuah hukum positif. 

Sejumlah perjanjian itu, menurutnya, diketahui oleh pemerintahan yang saat itu dijabat Presiden Soeharto. Dalam MoU itu juga disampaikan agar pemanfaatan Pulau Pasir tidak dilakukan secara sepihak oleh Australia. "Dalam perjanjian UNCLOS, itu kita punya. Kalau batas antar negara laut kurang 400 mil laut, maka dipakailah garis tengah," sebutnya. 

Baca juga: Bernando Seran: Klaim atas Pulau Pasir Patut Diselesaikan Melalui Mahkamah Internasional

Ferdi Tanoni menyebut Kementerian Luar Negeri ( Kemenlu ) RI tidak paham latar belakang Pulau Pasir. Ia menuding pernyataan dari pihak Kemenlu tidak berdasar. 

"Dia omong sembarang itu. Harusnya tanya dulu, jangan sembarang ngomong. Indonesia ini negara besar dan banyak pulau. MoU waktu itu bukan kau yang teken, itu Pak Harto," tandasnya.  

Ferdi Tanoni berniat mendatangi Kemenlu untuk membahas hal ini. Dia juga menyebut, telah memberi pernyataan terbuka kepada Presiden Jokowi.

Sebelum Pulau Pasir, Ferdi Tanoni menggugat Australia akibat tumpahan minyak di laut Timor dalam kasus Montara.

Kemenlu menegaskan bahwa Pulau Pasir milik Australia. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kemenlu Abdul Kadir Jaelani.

“Pulau Pasir merupakan pulau yang dimiliki Australia berdasarkan warisan dari Inggris,” ujar Abdul Kadir Jaelani, dikutip dari akun Twitter miliknya, @akjailani, Senin 24 Oktober 2022.

Tinjau Perjanjian

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari NTT, Abraham Paul Liyanto meminta pemerintah meninjau kembali perjanjian atau nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dengan Australia tahun 1974 tentang Pulau Pasir. Alasannya, MoU itu lebih merugikan negara Indonesia.

“Perlu diskusi lagi dengan pemerintah Australia. MoU yang ada lebih merugikan Indonesia,” kata Abraham Paul Liyanto di Jakarta, Senin, 7 November 2022.

Ia menyebut, dengan MoU yang ada, nelayan Indonesia hanya diizinkan untuk singgah, mengambil air bersih, dan mengunjungi makam leluhurnya di Pulau Pasir.

Padahal Pulau Pasir itu sebagai aktivitas para nelayan dari NTT, hingga ada makam leluhur di sana. “Mungkin perlu menjadi milik bersama antara Indonesia dan Australia. Misalnya, pulau tersebut dibagi dua,” katanya.

Abraham Pau Liyanto menilai, Indonesia harus berhak memiliki Pulau Pasir. Selain sudah ada aktivitas orang Indonesia di sana, jarak Pulau Pasir dari lepas pantai barat laut Australia sekitar 320 Km. Sementara jarak dari sebelah selatan Pulau Rote hanya 170 km. Itu artinya pulau tersebut lebih dekat ke Indonesia.

Kemudian, sejak awal abad ke-18, Pulau Pasir telah menjadi tujuan para nelayan NTT. Mereka datang mengumpulkan burung, kerang, telur burung, penyu, teripang, dan telur penyu untuk dikonsumsi. Atas berbagai aktivitas tersebut, di Pulau Pasir terdapat kuburan para leluhur orang-orang Rote.

Fakta lainnya, adalah sebelum diklaim menjadi milik Australia, para nelayan Indonesia yang ingin ke Pulau Pasir wajib kantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Kupang.

Baca juga: Pemprov NTT Ikut Arahan Pemerintah Pusat Soal Pulau Pasir

Masyarakat NTT berlayar mencari ikan dan teripang ke pulau tersebut. “Itu fakta-fakta yang telah ada. Maka perlu diskusi lagi dengan pemerintah Australia,” tegas mantan Ketua Kadin Provinsi NTT ini.

Menurut pemilik Universitas Citra Bangsa Kupang ini, pemerintah Hindia Belanda yang menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun mungkin memang tidak sampai ke Pulau Pasir.

"Bisa jadi karena terlalu jauh atau merasa sudah cukup sampai di Rote atau Kupang saja. Hal itu mungkin membuat pemerintah kolonial Belanda tidak mengklaim Pulau Pasir sebagai wilayahnya," katanya.

Namun,  fakta bahwa ada nelayan dari Rote beraktivitas di Pulau Pasir menunjukkan bahwa pulau tersebut juga milik Indonesia. Di sisi lain, di pulau tersebut tidak ada aktivitas masyarakat Australia, sekalipun telah diklaim menjadi miliknya. “Supaya tidak menjadi perdebatan berkepanjangan, perlu duduk bersama lagi,” ujarnya.

Sikap Pemprov NTT

Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengaku akan mengikuti arahan Pemerintah Pusat terkait Pulau Pasir

"Bila Pemerintah pusat bilang itu sah milik Australia ya kita ikut. Kita prinsipnya ikut Pemerintah pusat," kata Viktor Laiskodat di Gereja Paulus Kota Kupang, Kamis 3 November 2022. 

Ia menjelaskan, batas negara merupakan sebuah kedaulatan sehingga Pemprov NTT tidak mungkin mengklaim itu, apalagi perjanjian bilateral itu ditandatangani Pemerintah Pusat melalui kepala negara ataupun pihak berwenang lainnya. 

Mengenai sejarah, Viktor Laiskodat menyampaikan hal itu bisa saja. Meski begitu, bagian itu harus diproses pada tingkat antar negara.  "Menteri Luar Negeri sudah menyatakan itu adalah milik Australia, karena kita akan terhambat di situ.". 

Mantan anggota DPR RI dari Partai NasDem ini memberi ruang bagi kelompok masyarakat yang akan melakukan gugatan ke Pengadilan Canberra Australia.

Menurut Viktor Laiskodat, itu merupakan sebuah momentum jika bisa dikabulkan sehingga dilaksanakan renegosiasi. Kesepakatan ulang itu, berkaitan dengan peninjauan kembali terkait dengan ratifikasi. 

Sejarah Pulau Pasir

Keberadaan pulau itu memang selalu jadi hal yang kontroversial. Pasalnya, letaknya lebih dengan Indonesia, tetapi secara hukum merupakan wilayah Austrasia.

Pulau Pasir merupakan pulau tak berpenghuni yang terletak di perairan antara Indonesia dan Australia.

Melansir situs resmi Pemerintah Australia, Pulau Pasir itu berjarak sekitar 320 kilometer dari lepas pantai barat laut Australia dan 170 kilometer di sebelah selatan Pulau Rote, Indonesia.

Ditilik dari jaraknya, maka Pulau Pasir praktis lebih dekat dengan Pulau Rote, yang dikenal sebagai pulau terselatan Indonesia.

Oleh karena itu, sejumlah pendapat menyebutkan, bahwa Pulau Pasir seharusnya menjadi bagian dari wilayah Indonesia.

Hanya saja, pulau tersebut tak akan pernah menjadi milik Indonesia, lantaran telah masuk ke dalam wilayah Australia sejak hampir satu abad yang lalu.

Lantas, seperti apakah kisahnya, sehingga pulau yang selama ini menjadi tempat singgah nelayan Rote NTT, tapi menjadi wilayah milik Australia?

Pulau Pasir ditemukan pertama kali oleh Samuel Ashmore. Pulau ini merupakan bagian dari Kepulauan Ashmore dan Cartier, yang terletak di Samudra Hindia, tepatnya di sekitaran Laut Timor.

Pulau-pulau di Kepulauan Ashmore dan Cartier ini tidak berpenghuni. Pulaunya berpasir dan berkarang, serta beberapa bagiannya tertutup rumput.

Diketahui dari catatan Eropa, pulai ini ditemukan pertama kali oleh Samuel Ashmore pada 11 Juni 1811 silam.

Awalnya, Samuel Ashmore menamai pulau tersebut dengan Hibernia Reef, seperti nama kapalnya. Namun, pulau ini akhirnya dikenal dengan nama Ashmore Reef yang oleh orang Indonesia disebut sebagai Pulau Pasir.

Pada 1850-an, wilayah ini belum diklaim oleh negara mana pun dan menjadi tujuan kapal penangkap paus milik Amerika.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1878, Inggris menganeksasi Pulau Pasir dan memanfaatkan bagian barat pulau tersebut sebagai tempat untuk pertambangan fosfat.

Dalam perkembangan selanjutnya, Inggris lantas memberikan Pulau Pasir kepada Australia. Perlu diingat bahwa Australia dulunya merupakan koloni Inggris.

Pulau tersebut dimiliki oleh Inggris berdasarkan Ashmore and Cartier Acceptance Act, 1933, dan dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Negara Bagian Australia Barat pada tahun 1942.

Baca juga: Abraham Liyanto: Tinjau Kembali MoU Pulau Pasir dengan Australia    

Dengan kata lain, Pulau Pasir diklaim oleh Inggris, sebelum akhirnya diberikan kepada Australia pada 1942.

Meski jaraknya lebih dekat dengan wilayah Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka) daripada Australia, Belanda tidak pernah mengklaim kepemilikan atas Pulau Pasir.

Perlu diketahui, hukum modern menganut suatu konsep bahwa wilayah suatu negara ketika merdeka, adalah semua wilayah kekuasaan penjajahnya, yang dalam bahasa Latin disebut uti possidetis.

Dengan begitu, karena Pulau Pasir tidak pernah diklaim oleh Belanda, maka secara hukum internasional, Pulau Pasir tidak pernah masuk dalam wilayah administrasi Indonesia.

Namun, jauh sebelum ditemukan oleh Samuel Ashmore, tepatnya sejak awal abad ke-18, Pulau Pasir telah menjadi tujuan para nelayan NTT.

Melansir Kompas.com, mereka datang untuk mengumpulkan burung, telur burung, kerang, teripang, penyu dan telur penyu untuk dikonsumsi serta diperdagangkan di pasar Asia.

Bahkan di Pulau Pasir terdapat kuburan para leluhur orang-orang Rote. Hingga Pulau Pasir resmi menjadi milik Australia, nelayan-nelayan Indonesia masih sering beraktivitas di wilayah ini.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, dibuat nota kesepahaman atau MoU (Memorandum of Understanding) yang ditandatangani Australia dan Indonesia pada 1974.

Dengan adanya nota kesepahaman tersebut, nelayan Indonesia diizinkan untuk singgah, mengambil air bersih, dan mengunjungi makam leluhurnya di wilayah Pulau Pasir.

Pada 1997, Indonesia dan Australia kembali bertemu guna menetapkan batas wilayah administrasi laut kedua negara.

Dalam kesepakatan itu, Australia dinyatakan hanya memiliki wilayah berjarak 12 mil di sekitar Pulau Pasir. (fan/pol/aca)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved