Opini

Opini: Sumpah Pemuda dalam Tsunami Literasi

Sejatinya, kekuatan suatu bangsa selalu mengakar pada kualitas nalar dan kepekaan rasa generasi mudanya. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI YOGEN SOGEN
Yogen Sogen 

Polemik ini berpusat pada ide modernisasi yang digagas oleh STA melalui majalah Poedjangga Baroe. 

Contoh-contoh historis tersebut menegaskan, bahwa sejarah perjuangan yang lahir dari darahnya pemuda Indonesia telah menyatu dengan alam literasi sejak dahulu kala.

Sementara Presiden Prabowo Subianto juga orang yang sangat dekat dengan buku, kita melihat, setiap kali Prabowo berkunjung ke luar negeri, pasti menyempatkan untuk membeli buku, dan pada waktu senggang banyak dihabiskan untuk membaca. 

Presiden kedelapan ini juga mengaku bahwa perpustakaan adalah tempat favoritnya. 

Bahkan, saat berpidato dalam prosesi sidang senat pengukuhan mahasiswa baru sekaligus wisuda sarjana UKRI, Bandung, Sabtu (18/10/2025), ia mengaku masih kerap belajar dengan membaca buku sekitar dua sampai empat jam setiap hari.

Ironisnya, saat ini arus digital telah merasuk ke segala lini kehidupan, merenggut waktu yang seharusnya digunakan anak-anak untuk belajar mengenal huruf dan angka secara organik, mengolah rasa, membangun kepekaan dan imajinasi. 

Kita didikte oleh algoritma yang semakin mengenal kita, sementara kita kian kehilangan waktu untuk kembali ke dalam diri. 

Kemampuan menalar yang organik dan pemikiran yang jernih dibabat habis oleh keputusan-keputusan mesin yang membuat kita berhenti berpikir kritis.

Kita kadang berpikir bahwa teknologi ini memampukan kita melihat segalanya, ia seperti mendekap kita lebih erat ketimbang orang-orang yang kita sayangi, padahal, ia sesungguhnya bukan ‘maha mengetahui’ sebab, imajinasi dan pikiran kita adalah tembok yang tak mampu ditembus oleh alat ini. 

Literasi Melampaui Iman Digital 

Sumpah Pemuda tidak sekadar dimaknai sebagai persatuan teritori, melainkan tentang persatuan pikiran, nalar dan peradaban. 

Bagaimana mungkin kita bersatu sebagai bangsa jika kemampuan dasar untuk memahami dunia, yakni literasi kian tergerus? 

Kita jangan terlampau jumawa mengklaim bahwa kecerdasan teknologi digital dan AI semata-mata membawa dampak baik. Tanpa daya nalar yang kuat, ia adalah bom waktu. 

Menjadikannya sebagai “iman digital,” di mana kita menyerahkan segala keputusan pada mesin sebagai hakim atas kehendak kita adalah bencana dan awal dari kebodohan massal di masa depan. 

Sumpah Pemuda mengajarkan kita bahwa perubahan dimulai dari kesadaran kaum muda. Hari ini, kesadaran itu harus kembali digelorakan melawan kemunduran nalar. 

Kita tidak hanya bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, tetapi kita harus bersumpah untuk bernalar satu dan berliterasi satu, karena hanya dengan persatuan nalar yang kokoh, kita bisa memanfaatkan teknologi sebagai alat peradaban, bukan sebagai tirani yang membonsai pikiran.

Lebih dari itu, krisis literasi yang telah menjadi tsunami ini menuntut kita untuk kembali ke akar, kembali pada dedikasi para guru yang mengajarkan membaca sebagai ritual suci, sebagai pintu gerbang menuju kedalaman makna. 

Anggaran triliunan yang digelontorkan negara tidak akan berarti tanpa menyalakan semangat dan komitmen untuk menjadikan setiap anak bangsa, di NTT maupun di manapun, cakap membaca dan menalar, tidak sekadar mengeja huruf tanpa menyentuh kedalaman maknanya. 

Dengan demikian, tantangan ini adalah tantangan kolektif, sebuah panggilan untuk mengoreksi diri dan berjalan bersama, memastikan api Sumpah Pemuda 1928 tidak redup di tengah kegelapan makna, sebab, Sumpah Pemuda yang sejati adalah ketika generasi penerusnya mampu menyalakan obor peradaban dengan nalar yang tajam dan hati yang peka. 

Selamat memaknai Sumpah Pemuda dalam reruntuhan dan puing-puing literasi. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved