Breaking News

Opini

Opini: Saatnya Generasi Muda Bangkit dengan Kecerdasan dan Integritas

Dalam dunia pendidikan, semangat Sumpah Pemuda seharusnya dihidupkan melalui tiga bentuk transformasi. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI HERYON B MBUIK
Heryon Bernard Mbuik 

Oleh: Heryon Bernard Mbuik
Dosen Universitas Citra Bangsa Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda, tonggak penting yang menandai lahirnya kesadaran nasional. 

Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai daerah dan latar belakang berdiri bersama di Jakarta dan mengikrarkan tiga janji sakral: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia. 

Baca juga: Opini: Sumpah Pemuda 97 Tahun, Mengulang Satu dari Jalan Kramat ke Jalan Desa

Momentum itu bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sumber nilai dan identitas kebangsaan yang meneguhkan arah perjalanan bangsa hingga kini. 

Dalam konteks inilah "Saatnya Generasi Muda Bangkit dengan Kecerdasan dan Integritas” menjadi refleksi yang sangat relevan. 

Tulisan ini mengajak kita menilai ulang sejauh mana semangat Sumpah Pemuda masih hidup dalam diri generasi muda di tengah arus globalisasi, digitalisasi, dan disrupsi moral. 

Refleksi ini akan semakin kuat bila dikaitkan langsung dengan makna historis peringatan Sumpah Pemuda 1928, karena seperti pesan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” 

Ini menegaskan bahwa refleksi terhadap Sumpah Pemuda bukan hanya agenda tahun 2025, tetapi suatu kontinuitas sejarah yang harus dihidupi lintas generasi. 

Konteks Sejarah dan Pergeseran Nilai 

Jika Sumpah Pemuda 1928 dilahirkan di tengah perjuangan fisik melawan kolonialisme, maka Sumpah Pemuda masa kini harus lahir kembali di tengah perjuangan melawan penjajahan baru: budaya, ekonomi, dan digital. 

Pemuda dahulu berjuang untuk meraih kemerdekaan; pemuda kini berjuang untuk mempertahankan jati diri di tengah dunia tanpa batas. 

Tantangan ini nyata. Budaya instan, hedonisme, dan ketergantungan pada media sosial membuat sebagian generasi muda kehilangan arah nilai dan semangat kebangsaan. 

Identitas nasional sering kabur di antara identitas virtual yang global, sementara bahasa Indonesia yang dulu menjadi simbol persatuan sering tergeser oleh bahasa asing yang dianggap lebih bergengsi. 

Kita tidak boleh berhenti pada nostalgia sejarah, tetapi harus menafsirkan kembali makna Sumpah Pemuda dalam konteks zaman yang berubah. 

Sumpah Pemuda masa kini bukan hanya “satu bangsa”, tetapi juga “bangsa yang berdaya saing global tanpa kehilangan jati diri nasional.” 

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved