Opini
Opini: Sumpah Pemuda dalam Tsunami Literasi
Sejatinya, kekuatan suatu bangsa selalu mengakar pada kualitas nalar dan kepekaan rasa generasi mudanya.
Kami dipersilakan untuk memilih buku-buku yang tersedia, kemudian mencari tempat di area sekolah untuk membaca.
Tepat di belakang sekolah, ada beberapa pohon beringin yang rimbun berdiri kokoh.
Saya memilih duduk di bawahnya, akarnya menjadi tempat duduk paling nyaman. Kami belajar bersama napas alam yang asri.
Satu pesan yang menjadi makna cerita ini adalah kami didoktrin oleh guru-guru untuk tiada istirahat tanpa membaca.
Waktu itu, membaca bukan sekadar rutinitas, melainkan ritual komunal. Kami membaca sembari bersuara agar saling mengoreksi intonasi dan tanda baca, mengolah rasa, membangun imajinasi liar, dan bertukar cerita.
Suasananya tampak seperti saling mendongeng. Hal-hal sederhana inilah yang menciptakan ‘romantika pendidikan’ yang mendasar, memastikan kami tumbuh dengan pondasi huruf dan angka yang kuat, mengasah kepekaan dan daya nalar.
Dan ketika kini datang kabar buruk dari NTT, seperti yang diungkap oleh para pegiat literasi dan bahkan pemimpin daerah sendiri, itu menunjukkan ada sesuatu yang koyak dalam tenun pendidikan kita, sebuah situasi yang tidak baik-baik saja.
Ini adalah sebuah kemunduran yang perlu kita koreksi bersama, apalagi di tengah derasnya gelombang teknologi digital yang mendikte ruang dan waktu kita.
Dalam situasi pelik ini, kita semua diajak untuk meneguhkan kembali semangat literasi.
Bagaimanapun juga, sejarah republik ini adalah sejarah ‘keberaksaraan’.
Pada tiap narasi perjuangannya para pemuda, tak lepas dari pemikiran bernas, mereka menyatu bersama buku dan pena.
Mereka menulis dan berdebat lewat tulisan melalui koran-koran dengan berbagai bahasa, sekalipun ada yang menulis di bawah tanah, dalam tekanan kolonial.
Literasi dalam Sejarah Perjuangan Bangsa
Setelah perdebatan penting dalam lintasan sejarah literasi dan identitas nasional Indonesia yang ditandai dengan deklarasi kebangsaan 1928, di tahun 1930 akhir menjelang kemerdekaan, Soekarno dan Mohammad Natsir berpolemik sengit melalui tulisan, seputar nasionalis sekuler dan nasionalis Islami.
Dalam rentang yang sama, muncul pula polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Pramoedya Ananta Toer mengenai orientasi kebudayaan Indonesia yang dikenal sebagai Polemik Kebudayaan.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.