Opini
Opini: Sumpah Pemuda dalam Tsunami Literasi
Sejatinya, kekuatan suatu bangsa selalu mengakar pada kualitas nalar dan kepekaan rasa generasi mudanya.
Oleh: Yogen Sogen
Penulis Buku “Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh” & “Nyanyian Savana.” Menyukai dunia sastra dan politik. Saat ini sedang menempuh Pendidikan Magister Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIPAN).
POS-KUPANG.COM - Setiap 28 Oktober, denting sejarah kembali nyaring, memanggil setiap jiwa untuk mengambil jeda, memaknai seruan magis pemuda-pemudi yang mengikrarkan “satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa persatuan.”
Sumpah Pemuda, sebuah kristalisasi cita-cita, berdiri tegak melampaui zaman sebagai tiang penyangga ke-Indonesia-an.
Namun, di tengah nyaringnya peringatan itu, ada getir yang tak terhindarkan dan melahirkan sebuah pertanyaan relfektif: sebagai pewaris nyala api pemuda 1928, mampukah kita memastikan generasi hari ini cakap membawa obor peradaban?
Sejatinya, kekuatan suatu bangsa selalu mengakar pada kualitas nalar dan kepekaan rasa generasi mudanya.
Baca juga: Opini: Sumpah Pemuda, Nasionalisme dan Bahasa
Hari ini, kabar-kabar pilu yang diungkapkan oleh Frans Pati Herin di Kompas pada 19 September 2025, mengenai “Darurat Literasi di NTT,” adalah alarm yang tak boleh diabaikan, ia harus masuk sebagai bagian dari perenungan Hari Sumpah Pemuda.
Media Kompas turut menghimpun beragam kemelut literasi, mulai dari siswa SMA yang belum lancar membaca, para siswa yang sekadar mengeja huruf namun kesulitan merangkai kata apalagi kalimat panjang, disertai minimnya intonasi dan tanda baca.
Kondisi serupa juga terjadi pada lulusan perguruan tinggi. Realitas tersebut menyuguhkan sebuah ironi, bahwa kita sedang berhadapan dengan sebuah kemunduran struktural.
Bahkan, Gubernur NTT, Melkiades Laka Lena, secara jujur turut mengakui rendahnya kemampuan literasi dan numerasi anak-anak NTT, kian mempertegas bahwa persoalan ini bukanlah riak kecil, melainkan tsunami yang mengancam masa depan generasi mendatang.
Ia juga berharap, Anggaran Rp 2,3 triliun yang dialokasikan dari APBD NTT untuk sektor pendidikan mestinya memantik sebuah perjuangan sungguh-sungguh dari para guru dan tenaga kependidikan.
Sebab, anggaran hanyalah bahan bakar dan mesinnya adalah jiwa dan dedikasi.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti yang secara terbuka mengakui kondisi literasi di Indonesia saat ini memprihatinkan.
Data yang diungkapkannya sangat mencengangkan, bahwa sebanyak 75 persen anak usia 15 tahun di Indonesia memiliki kemampuan membaca, tetapi ironisnya, tak memahami apa yang mereka baca.
Ini bukan sekadar gagal membaca, tapi gagal menalar. Kita melahirkan generasi yang secara teknis melek huruf tetapi buta makna.
Realitas ini dipertegas oleh temuan global. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyebutkan Indonesia menjadi negara dengan urutan kedua dari bawah terhadap literasi dunia.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.