Opini
Opini: Redefenisi Tanah Air dan Sumpah Pemuda
Kini memasuki tahun 2025, warisan ikrar ini menghadapi tantangan terbesar dan paling eksistensial, yaitu krisis iklim.
Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi dan Filsafat ISBI Bandung
POS-KUPANG.COM - Tanggal 28 Oktober 1928 menjadi penanda sejarah krusial ketika para pemuda lintas suku dan agama bersatu, mengikrarkan janji suci: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia.
Ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda ini tidak sekadar pernyataan linguistik atau sosiologis, melainkan sebuah kontrak sosial yang memproklamasikan identitas politik baru, berpusat pada kepemilikan bersama atas satu entitas geografis dan spiritual: Tanah Air Indonesia.
Kini memasuki tahun 2025, warisan ikrar ini menghadapi tantangan terbesar dan paling eksistensial, yaitu krisis iklim.
Krisis ini mengancam inti dari apa yang mereka sumpahkan untuk cintai, tanah dan air itu sendiri.
Baca juga: HUT Sumpah Pemuda ke-96, Beri Kesempatan Bagi Pemuda Untuk Berkarya
Oleh karena itu, mencintai "Satu Tanah Air" di era modern harus diartikan sebagai tanggung jawab aktif, agresif, dan berkelanjutan untuk menyelamatkan lingkungan.
Patriotisme abad ke-21 tidak lagi cukup diwujudkan melalui pengibaran bendera, tetapi melalui upaya nyata menjaga ekologi Indonesia.
Redefinisi ini menempatkan gerakan pemuda sebagai garda terdepan dalam isu keberlanjutan, mengubah semangat persatuan dari perjuangan politik menjadi perjuangan planet.
Tanah Air sebagai Imperatif Ekologis
Secara historis, janji untuk memiliki "Satu Tanah Air" adalah pernyataan kedaulatan geopolitik.
Namun, krisis iklim telah mendegradasi makna kedaulatan tersebut menjadi sebuah kerentanan.
Jika air laut naik dan tanah tenggelam, maka kedaulatan hanya akan menjadi ilusi.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan salah satu pemilik hutan tropis terluas, menghadapi ancaman ganda yang didukung oleh data-data ilmiah yang mengkhawatirkan. Ada beberapa hal yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, kerentanan pesisir dan kenaikan permukaan air laut. Menurut laporan IPCC, Asia Tenggara termasuk kawasan yang paling rentan terhadap dampak iklim.
Di Indonesia, diperkirakan jutaan jiwa, khususnya di wilayah pesisir padat seperti Jakarta Utara dan kota-kota di Delta Mahakam, akan terdampak langsung.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.