Opini
Opini: Sumpah Pemuda, Nasionalisme dan Bahasa
Karena hanya dengan memelihara keberagaman, ikatan persatuan menjadi berdasar. Karena kisah nasionalisme pada akhirnya tidak tunggal.
Oleh: Mario F. Lawi
ASN Biro Administrasi Pimpinan Setda Provinsi NTT, Nomine Penghargaan Sastra Kemendikdasmen 2025 Kategori Esai/Kritik Sastra untuk bukunya berjudul Menemukan Priamel di Bulan (2024).
POS-KUPANG.COM - Hari Sumpah Pemuda yang kita rayakan setiap tanggal 28 Oktober setiap tahun, tidak langsung dirayakan sejak tahun-tahun awal setelah Kongres Pemuda II pada 1928.
Menurut Keith Foulcher (2000), makna dan proses penciptaan Sumpah Pemuda sebagai simbol kebangsaan Indonesia justru dikonstruksi selama bertahun-tahun, oleh berbagai kalangan untuk berbagai kepentingan.
Sukarno, misalnya, pada 28 Oktober 1949, justru merayakan hari tersebut untuk memperingati diperdengarkannya pertama kali lagu Indonesia Raya.
Baru sejak 1956, Sukarno mulai menggunakan peristiwa Sumpah Pemuda sebagai senjata ideologi.
Pada 1957, ketika pemberontakan muncul di berbagai daerah, Sukarno gunakan perayaan Sumpah Pemuda untuk menyerang para simpatisan daerah. Tahun 1958 Sumpah Pemuda dirayakan secara besar-besaran.
Baca juga: Opini: Redefenisi Tanah Air dan Sumpah Pemuda
Jika menengok ke belakang, kita segera tahu bahwa kebutuhan untuk merumuskan ikatan nasionalisme justru datang dari kebutuhan kelompok-kelompok kedaerahan berkebudayaan nasional.
Meski salah satu rumusan Sumpah Pemuda yang dihasilkan Kongres Pemuda II berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, bahasa pengantar kongres tersebut adalah bahasa Belanda.
Para pemuda adalah kaum elite pribumi dari berbagai suku. George Kahin membantu kita memahami fenomena ini melalui karyanya, Nationalism and Revolution in Indonesia.
Kita dapat merangkum setidaknya lima poin dari karya George Kahin. Pertama, Kahin tidak secara filosofis menjabarkan makna nasionalisme.
Meski demikian, benturan-benturan gagasan para elite yang menggerakkan revolusi Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme ditunjukkan secara naratif untuk mengemukakan secara implisit apa yang dimaksudnya dengan nasionalisme.
Kedua, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme elite. Ketiga, kesadaran akan nasionalisme yang tumbuh dalam benak para elite adalah hasil pendidikan Barat, dan kebutuhan mendefinisikan Indonesia adalah kebutuhan bersama untuk melawan kolonialisme yang juga datang dari Barat.
Keempat, karena yang menumbuhkan kesadaran akan nasionalisme adalah pendidikan, maka revolusi Indonesia membutuhkan para elite terdidik sebagai aktor utama.
Kelima, peran tokoh-tokoh kiri dalam revolusi Indonesia cenderung diabaikan Kahin dalam narasinya.
Menurut Anderson, bagian yang lemah dalam karya Kahin adalah masa pendudukan Jepang.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.