Opini
Opini: Sumpah Pemuda, Janji Merawat Demokrasi Negeri
Seperti diingatkan Robert A. Dahl, demokrasi hanya akan hidup jika ada “partisipasi efektif” dan “kesetaraan suara”.
Oleh: Baharudin Hamzah
Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Setiap kali tanggal 28 Oktober tiba, Sumpah Pemuda kembali menggema sebagai ingatan kolektif bangsa yakni satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa.
Namun, sumpah itu tidak boleh membeku dalam arsip sejarah, sekadar jadi poster peringatan tahunan.
Sumpah itu harus menjadi janji moral yang menuntut perawatan terhadap demokrasi yang kini digempur derasnya disrupsi digital, banjir informasi, dan erosi nalar publik.
Demokrasi Indonesia hari ini menghadapi paradoks yang subtil tapi nyata. Disatu sisi, ruang digital membuka kanal partisipasi politik yang belum pernah sebesar ini.
Dari ujung jari, siapa pun kini dapat menyuarakan pendapat, mengkritik kebijakan, bahkan menggerakkan solidaritas sosial lintas batas.
Baca juga: Opini: Sumpah Pemuda dalam Tsunami Literasi
Namun di sisi lain, ruang digital itu juga menjadi medan rapuh bagi demokrasi, tempat algoritma membungkus opini, tempat polarisasi menyusup dalam bentuk yang nyaris tak kasat mata, dan tempat banalitas merayap pelan-pelan menggerus nalar kritis warga.
Seperti diingatkan Robert A. Dahl, demokrasi hanya akan hidup jika ada “partisipasi efektif” dan “kesetaraan suara”.
Tapi dalam masyarakat yang dikepung sensasi, kecepatan, dan emosi digital, rasionalitas publik sering kali tumbang.
Demokrasi tidak hanya diuji oleh institusinya, tetapi oleh kualitas nalar warganya.
Jauh sebelum demokrasi menjadi sistem modern, Plato dalam The Republic telah memberi peringatan bahwa kebebasan tanpa kebajikan akan melahirkan tirani, tirani yang bukan datang dari penguasa, melainkan dari rakyat yang berhenti berpikir.
Kini, peringatan itu menjelma dalam realitas, kebebasan berekspresi yang tak ditopang tanggung jawab etis mudah berubah menjadi ladang hoaks, ujaran kebencian, dan delegitimasi kepercayaan publik.
Demokrasi tak mati oleh kudeta, melainkan oleh ketidakpedulian warganya sendiri. Yang sesungguhnya terancam bukan hanya sistem elektoral, melainkan roh deliberatif yang menopang kehidupan bernegara.
Ketika publik kehilangan ruang untuk berpikir jernih, ketika percakapan politik lebih banyak dipandu amarah daripada akal sehat, maka demokrasi berubah dari rumah bersama menjadi arena perpecahan.
Demokrasi kehilangan substansinya ketika hanya menjadi ritual elektoral tanpa ruh etis dan kesadaran kolektif.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.