Opini
Opini: Sumpah Pemuda 97 Tahun, Mengulang Satu dari Jalan Kramat ke Jalan Desa
Pesan itu menegaskan bahwa tugas kita sebagai bangsa adalah terus menanamkan nilai saling menghormati.
Oleh: Zefirinus Kada Lewoema
Kandidat PhD dalam bidang Knowledge, Technology and Innovation pada Wageningen University and Research The Netherlands, awardee International Fellowship Program (2007-2009), dan LPDP-RI
POS-KUPANG.COM - Pada 27-28 Oktober 1928 ( dimulai dari gedung Katholieke Jongelinen Bond, lalu pindah ke Oost Java Bioscoop, dan akhirnya ke Indonesische Studeergebouw di Jalan Kramat Raya No. 106, Batavia), sekelompok orang muda dari berbagai penjuru tanah air berkumpul.
Mereka datang dengan keyakinan yang melampaui zaman: bahwa masa depan Indonesia hanya dapat diwujudkan dengan kebersamaan.
Organisasi yang hadir mencerminkan wajah Indonesia yang majemuk: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, dan Pemoeda Indonesia.
Baca juga: Opini: Sumpah Pemuda, Janji Merawat Demokrasi Negeri
Dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito, serta diiringi gesekan biola Wage Rudolf Supratman yang memperdengarkan Indonesia Raya untuk pertama kali, mereka menegaskan tiga kalimat yang kemudian menjadi dasar kesadaran kebangsaan: Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Sumpah itu tidak lahir dari ruang kekuasaan, tetapi dari ruang kesadaran.
Ia menjadi penanda bahwa bangsa ini dibangun di atas kesediaan untuk mempercayai sesama dan mengutamakan kepentingan bersama di atas segala perbedaan.
Persaudaraan yang Harus Dirawat
Sembilan puluh tujuh tahun telah berlalu, bangsa ini telah tumbuh besar seperti pohon yang rindang; yang akar persaudaraannya harus terus disiram agar tidak kering oleh perubahan zaman.
Kita hidup di masa ketika arus informasi bergerak sangat cepat. Perbedaan pendapat menjadi bagian dari kehidupan modern, tetapi jika tidak disikapi dengan bijak, ia dapat menimbulkan salah paham dan jarak sosial.
Di ruang maya, kata-kata yang seharusnya menyatukan kadang justru memecah.
Kalimat yang menenangkan terkalahkan oleh kabar yang menyesatkan, bahkan kebohongan yang diulang dapat terdengar seperti kebenaran.
Nelson Mandela pernah berkata: “Tidak ada seorang pun yang dilahirkan untuk membenci. Jika manusia bisa belajar membenci, mereka juga bisa diajarkan untuk mencintai.”
Pesan itu menegaskan bahwa tugas kita sebagai bangsa adalah terus menanamkan nilai saling menghormati.
Bangsa ini berdiri di atas kemajemukan. Karena itu, persatuan bukan berarti menyamakan semua hal, tetapi memberi ruang agar setiap orang dapat tumbuh dalam rasa aman dan dihargai.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.