Opini

Opini: Trias Tipukita, Cuplikan Percakapan Petang di Pematang

Plus, keindahan pikiran mereka dalam memutilasi isu-isu politik yang satir dalam kemasan gurauan yang gurih. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Paham dekontruksi menolak kebenaran mutlak (logosentrisme) atau kebenaran tunggal. Semua hal bermakna polisemi. Ia juga  menolak oposisi biner yang menjebakkan kita pada subjektivitas. Katakan hitam dan puitih, lalu menentukan putih yang lebih baik. 

Padahal, dalam konteks tertentu hitam lebih baik. Salah satu kharakteristik pembacaan dekonstruksi adalah aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi).

Jikalau  analogi dekontruksi Derrida kita gunakan  dalam konteks korupsi,  maka mari kita melipat rapi dalam pikiran kita sebuah hipotesis bahwa korupsi itu baik dan penting. Korupsi di Indonesia perlu disebarluaskan. 

Karena dari uang korupsi akan menyejaterahkan keluarga, kolega dan suku-sukunya. Ada jejaring untuk memeratakan korupsi melalui nepotisme, koncoisme, kerabatisme, dan mungkin mantuisme.  Lalu, dibuatkan regulasi. 

Misalnya, jabatan menteri cukup satu periode. Kemudian langsung diganti orang lain. Demikian, presiden DPR hanya satu periode, langsung diganti orang lain. 

Tidak boleh orang yang sama. Dengan demikian, terjadi pemerataan korupsi, dan berarti ada pemerataan kekayaan pada keluarga koruptor. Semakin luas korupsi, semakin luas pula keluarganya yang disejahterakan. Tentu, ini sekadar aporia untuk menghibur diri. 

Kelepak camar petang menyekah keasyikan gurauan kami. Pun, hujan di gunung, rintiknya sudah tiba di hati. Kami pun bubar tanpa sambutan penutup. 

Saya menuruti mereka dari belakang. Terlihat, punggung mereka kosong, tetapi ayunan langkah begitu berat seakan memikul beban yang begitu berat, beban sebagai rakyat Indonesia yang “gini-ginian”. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved