Opini

Opini: Trias Tipukita, Cuplikan Percakapan Petang di Pematang

Plus, keindahan pikiran mereka dalam memutilasi isu-isu politik yang satir dalam kemasan gurauan yang gurih. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Burung-burung mulai menyeberang senja mengisyaratkan hari mulai malam. Kesimpangsiuaran percakapan pun mulai serius. 

Misalnya, tiba-tiba muncul percakapan mengenai Harvey Moeis yang korupsi 300 triliun lebih cuma diganjar hukuman 6.5 tahun. 

"Eme ngoeng Kraeng Moeis, aku kaut masuk bui. Konen sa keluarga niang 20 kiwan"  (Bila tuan Moein kehendaki, saya yang menggantikannya masuk bui. Bahkan, kami satu keluarga pun rela masuk bui selama 20 tahun tanpa harus melalui proses hukum yang menelan biaya setara dengan uang yang dikorupsi," tutur Nius Bincibancan.  

Khas memang. Kekuatan gurauan mereka  bukan pada akurasi isu atau presisi prediksi, melainkan  keseimpangsiuaran menanggapi berbagai isu. 

Kesimpangsiuaran itu justru memproduksi cara mereduksi, meresepsi, dan mempersepsi  isu. 

Karena itu, mereka selalu menemukan cara mengucapkan masalah itu melalui formula yang pendek, suatu fenomena bahasa yang menguatkan kebiasaan lisan (tradisi lisan) biar mudah diingat dan menetap lama dalam benak. 

Percakapan petang di pematang itu seakan memerosokkan saya pada gagasan Trias Politica  yang disabdakan oleh Filsuf  Inggris,  John Locke. 

Trias politica diterima dalam pengertian sehari-hari sebagai pembagian kekusaan atas eksekutif, legislatif dan yudikatif. Gagasan Locke berbasis peradaban. Usaha membatasi agar raja tidak absolut dan otoriter. 

Karena itu, diperlukan lembaga yang mengotrol dan menegurnya. Agar tidak semaunya mengatur rakyat, maka dibentuk lembaga yudikatif yang menentukan pilar hukum penyelenggaraan negara. 

Aransemen pemikiran John Locke tentang citra manusia. Esensi manusia  adalah bekerja dan mendapatkan hasil  dengan keringat sendiri. Oleh sebab itu, negara penganut paham politik Trias Politica sedapat mungkin menyejahterakan masyarakat. 

Sedangkan, istilah Trias Tipukita adalah frasa  plesetan terhadap tiga lembaga yang justru bersekongkol untuk menghabisi rakyatnya. Tiga lembaga ini menipu kita dengan begitu santun dan kadang menyenangkan.

Trias tipukita terinspirasi oleh gurauan satirik sejumlah petani di pedalaman Manggarai Timur hendak kembali ke rumah, sebelum malam memeluk penderitaan mereka. Sebab, besok pagi kegetiran nasib begitu setia menjemput mereka di depan pintu. 

Para petani berhak marah menanggap keadaan negara kita yang terus diserang anthrax korupsi. Rupanya, keadaan ini hendak mengajar kita tidak hanya bertahan dan sabar dengan keadaan, tetapi juga kita mesti bisa mengonversi derita menjadi hiburan kembali. 

Artinya, kita harus dilatih untuk bisa mengonversi penderitaan menjadi hiburan bagi diri. 

Kalaupun sampai saat ini negara belum menyediakan tenaga ahli untuk melatih keterampilan masyarakat mengoversi penderitaan menjadi hiburan, maka boleh sedikit berlagak  ilmiah dengan menguping petuah filsuf Prancis, Jaques Derrida tentang dekonstruksi. 

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved