Opini
Opini: Urgensi Langkah dan Kebijakan Strategis untuk Akselerasi Pembangunan Daerah
Penentuan “nasib” APBD dan nasib investasi di daerah memang tak benar-benar ada di daerah, tapi di Senayan dan di Istana Presiden.
Oleh : Jermin Yohanis Tiran
Penulis saat ini bekerja di Nusa Strategika sebagai Principal Strategyst dan sedang menyelesaikan Studi Hukum di Universitas Mpu Tantular Jakarta.
POS-KUPANG.COM - Daerah-daerah di Indonesia, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota, sampai ke desa-desa, sejatinya memiliki begitu banyak potensi sumber daya.
Baik sumber daya alam, SDM, budaya, dan berbagai keunikan strategis lainya, yang bisa menjadi modalitas sosial dan ekonomi daerah untuk bertumbuh.
Semua sumber daya tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan secara terukur dan terencana demi meningkatkan Product Domestic Regional Bruto (PDRB) dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Baca juga: Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang Gelar Payanan Kesehatan Bergerak di Oelfatu
Dengan meningkatnya PDRB dan PAD di daerah, tingkat pengangguran dan kemiskinan secara langsung maupun tak langsung juga akan tertekan secara signifikan, yang notabene adalah sebagai tujuan utama dari pembangunan di daerah.
Namun dari perkembangan data dan indikator pembangunan di daerah-daerah di Indonesia sampai hari ini, potensi tersebut belum berhasil dijadikan sebagai modalitas utama pembangunan sosial ekonomi di daerah.
Justru potensi yang terbangun secara pesat adalah potensi yang menurut pemerintah pusat layak untuk dikembangkan, yang pada ujungnya penikmat dan pelakunya lebih banyak berada di pusat pemerintahan di Jakarta.
Ketika Jakarta mendapatkan apa yang diincarnya di daerah, maka serta-merta akan menjadi proyek strategis nasional dengan gelontoran anggaran yang tak sedikit untuk pengembangan potensi di daerah tersebut.
Tapi lagi-lagi, karena sedari judul proyek sampai hasil akhir telah ditentukan di Jakarta, maka daerah hanya mendapatkan sisanya, sepaket dengan “prestasi semu” untuk kepala daerah yang sedang berkuasa di saat proyek dimulai.
Pola ini secara politik memunculkan kesan bahwa pemimpin daerah yang berhasil adalah pemimpin yang bisa membawa sebanyak-banyaknya anggaran dari pusat ke daerah dalam berbagai bentuk.
Bentuknya mulai dari pembesaran anggaran untuk daerah, penetapan daerah sebagai lokasi proyek strategis nasional, sampai pada penggiringan investasi BUMN ke daerah di berbagai sektor. Walhasil, secara fiskal daerah memang sangat tidak otonom.
Ketergantungan kepada pusat sangat tinggi. Sehingga penentuan “nasib” APBD dan nasib investasi di daerah memang tak benar-benar ada di daerah, tapi di Senayan dan di Istana Presiden.
Risiko lanjutannya adalah ada semacam keengganan di daerah, terutama dari pemimpin untuk berkreasi dalam memajukan daerah, di luar pakem politik anggaran yang telah ada selama ini.
Daerah merasa tidak memiliki “insentif” yang menarik untuk mendatangkan investasi sebesar-besarnya ke daerah, kecuali pada bidang-bidang di mana daerah merasa akan mendapatkan manfaat yang lebih besar, seperti sektor pariwisata.
Sebut saja misalnya untuk mendatangkan investasi agar produktivitas daerah meningkat dan lapangan kerja meningkat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.