Opini

Opini: Ketika yang Terhormat Lupa Tuannya

Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi, kini terancam menjadi panggung sandiwara kekuasaan.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOKUMENTASI PRIBADI HENDRIK MAKU
Hendrikus Maku, SVD 

 Oleh: Hendrikus Maku, SVD
Moderator Vox Point Indonesia Provinsi Banten

POS-KUPANG.COM - Di tengah gemuruh demokrasi yang konon menjunjung suara rakyat, kita justru menyaksikan paradoks yang mengguncang nurani: kekuasaan yang lahir dari mandat rakyat kini menjelma menjadi alat para elit. 

Mereka yang duduk di kursi legislatif, yudikatif, dan eksekutif tampak lupa bahwa dalam demokrasi, bukan kekuasaan yang berdaulat, melainkan rakyat. 

Ironi ini semakin nyata ketika kebijakan publik lebih menyerupai pesanan eksklusif dari ruang-ruang kekuasaan, bukan hasil dialog dengan suara-suara yang hidup di jalanan dan kampung-kampung. 

Baca juga: Opini: Hamba yang Mulia Berikan Aku Sedekah Keadilan

Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi, kini terancam menjadi panggung sandiwara kekuasaan.

Aksi Massa: Jeritan yang Diabaikan

Gelombang aksi massa yang marak belakangan ini bukan sekadar ekspresi kemarahan. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang semakin menjauh dari prinsip demokrasi substantif. 

Rakyat turun ke jalan bukan karena mereka tidak tahu sopan santun, tetapi karena mereka tahu bahwa suara mereka telah lama dibungkam oleh retorika kosong dan janji-janji palsu.

Ketika harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, ketika pendidikan dan layanan kesehatan berubah menjadi kemewahan yang hanya bisa diakses segelintir orang, ketika pajak dinaikkan tanpa transparansi dan keadilan, dan ketika hukum hanya tajam untuk rakyat kecil namun tumpul terhadap para pejabat dan konglomerat—rakyat sadar bahwa ada yang sangat keliru dalam arah negara ini. 

Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana korupsi merajalela, bagaimana kebijakan publik lebih banyak menguntungkan elite politik dan ekonomi, dan bagaimana para “yang terhormat” di gedung-gedung kekuasaan itu telah melupakan mandat suci yang diberikan oleh rakyat. 

Mereka lupa bahwa jabatan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan keberpihakan pada kepentingan umum.

Demokrasi yang Terfragmentasi

Demokrasi kita hari ini tampak seperti panggung sandiwara. Pemilu dijadikan ritual lima tahunan untuk melegitimasi kekuasaan, bukan untuk memperkuat partisipasi rakyat. 

Wakil rakyat lebih sibuk mengurus proyek, alih-alih mendengar aspirasi konstituen. 

Lembaga yudikatif pun tak luput dari sorotan: keputusan-keputusan kontroversial yang seolah melayani kepentingan segelintir orang, bukan keadilan bagi semua.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved