Opini

Opini: Trias Tipukita, Cuplikan Percakapan Petang di Pematang

Plus, keindahan pikiran mereka dalam memutilasi isu-isu politik yang satir dalam kemasan gurauan yang gurih. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Oleh: Marsel Robot
Dosen Bahasa dan Sastra FKIP Undana Kupang - NTT

POS-KUPANG.COM - Bagi Anda yang kelamaan tinggal di kota, jangan membiarkan diri ditimpuk rintik rindu akan kampung halaman. Pulanglah ke sana untuk menikmatinya. 

Sungguh banyak untungnya. Tidak hanya, keindahan alam desa yang adem, parokial, kicauan burung pagi yang membentuk baris-baris puisi tak tertulis.  Lebih dari itu,  cara menyapa warga desa yang terasa menyabda.

Plus, keindahan pikiran mereka dalam memutilasi isu-isu politik yang satir dalam kemasan gurauan yang gurih. 

Meski ada risikonya juga. Misalnya, kita ditodong sejumlah pertanyaan aneh. Padahal, pengetahuan politik saya hanya seluas permukaan cangkir kopi, atau maksimal seluas aroma kopi. 

Gurauan dimulai ketika senja melegokan biji sunyi ke petak-petak sawah. Tempatnya bukan di ruang mewah atau di aula hotel super megah yang menghabiskan miliaran rupiah untuk mendiskusikan kemiskinan rakyat. 

Akan tetapi, mereka berguarau  di  pematang (sawah). Melepas lelah seharian menaklukKan lumpur. Begitu rumpu-rampe (serba-serbi) isu yang dipercakapkan. 

Saya hanya ingat yang paling mudah yaitu tentang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alo Deko Dandak melinting rokok dari lontar berujar pendek,  “DPR gho’os eluk-ele”.  Frasa ini dapat diartikan,  DPR berulah lagi.

 “Eluk-ele apa kole? (ulah apa lagi?) Sambar Thomas Wingiwangas seraya tangannya merumput di antara selangkangannya. “Arang ise kole ata ghan ndoi itu” (mungkin mereka terlibat dalam sindikat makan uang itu), lanjut Wingiwangas.

“Ghoo tombo weru kole. Pange’d, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) manga ngincir Bank Indnesia ata ti ndui one anggota  DPR pele kampanye mesong. Itu triliun.  Do tuu.” 

(Ada informasi baru lagi, menurut kabar, KPK sedang melacak aliran dana triliunan rupiah ke anggota DPR untuk kepentingan kampanye kemarin. Banyak sekali uang itu), tutur Nadus Ndu’us. 

“DPR itu kepanjangannya, Dewan Perwakilan Rupiah”, tambah Nadus Ndu’us  sambil membersihkan lumpur di sela jari kakinya.

Pantas DPR menolak mengesahkan undang-undang perampasan aset koruptor. Padahal, usia rancangan UU itu sudah belasan tahun. Begitu lama  menginap dalam laci DPR. Sejak tahun 2008 UU diusulkan, belum dipalu juga. Ada apa?
 
Tiba pada gurauan yang satirik itu, sungguh terasa cubitan manusiwainya. 

Saya hanya mengingatkan mereka untuk jangan sengaja khilaf menyebut DPR dengan kepanjangan seperti itu. Mereka itu adalah kaki tangan aspirasi Anda, mewakili kalian, meski tidak mewakili penderitaan Anda. 

Toh, kalau sesekali atau sering kali mendiskusikan penderitaan Anda sambil minum bir di ruang sejuk, itu sungguh manusiawi. Cukuplah Anda  bertanya dalam hati, sampai kapan DPR merupakan kepanjangan Dewan Perwakilan Derita (Rakyat)? 

Burung-burung mulai menyeberang senja mengisyaratkan hari mulai malam. Kesimpangsiuaran percakapan pun mulai serius. 

Misalnya, tiba-tiba muncul percakapan mengenai Harvey Moeis yang korupsi 300 triliun lebih cuma diganjar hukuman 6.5 tahun. 

"Eme ngoeng Kraeng Moeis, aku kaut masuk bui. Konen sa keluarga niang 20 kiwan"  (Bila tuan Moein kehendaki, saya yang menggantikannya masuk bui. Bahkan, kami satu keluarga pun rela masuk bui selama 20 tahun tanpa harus melalui proses hukum yang menelan biaya setara dengan uang yang dikorupsi," tutur Nius Bincibancan.  

Khas memang. Kekuatan gurauan mereka  bukan pada akurasi isu atau presisi prediksi, melainkan  keseimpangsiuaran menanggapi berbagai isu. 

Kesimpangsiuaran itu justru memproduksi cara mereduksi, meresepsi, dan mempersepsi  isu. 

Karena itu, mereka selalu menemukan cara mengucapkan masalah itu melalui formula yang pendek, suatu fenomena bahasa yang menguatkan kebiasaan lisan (tradisi lisan) biar mudah diingat dan menetap lama dalam benak. 

Percakapan petang di pematang itu seakan memerosokkan saya pada gagasan Trias Politica  yang disabdakan oleh Filsuf  Inggris,  John Locke. 

Trias politica diterima dalam pengertian sehari-hari sebagai pembagian kekusaan atas eksekutif, legislatif dan yudikatif. Gagasan Locke berbasis peradaban. Usaha membatasi agar raja tidak absolut dan otoriter. 

Karena itu, diperlukan lembaga yang mengotrol dan menegurnya. Agar tidak semaunya mengatur rakyat, maka dibentuk lembaga yudikatif yang menentukan pilar hukum penyelenggaraan negara. 

Aransemen pemikiran John Locke tentang citra manusia. Esensi manusia  adalah bekerja dan mendapatkan hasil  dengan keringat sendiri. Oleh sebab itu, negara penganut paham politik Trias Politica sedapat mungkin menyejahterakan masyarakat. 

Sedangkan, istilah Trias Tipukita adalah frasa  plesetan terhadap tiga lembaga yang justru bersekongkol untuk menghabisi rakyatnya. Tiga lembaga ini menipu kita dengan begitu santun dan kadang menyenangkan.

Trias tipukita terinspirasi oleh gurauan satirik sejumlah petani di pedalaman Manggarai Timur hendak kembali ke rumah, sebelum malam memeluk penderitaan mereka. Sebab, besok pagi kegetiran nasib begitu setia menjemput mereka di depan pintu. 

Para petani berhak marah menanggap keadaan negara kita yang terus diserang anthrax korupsi. Rupanya, keadaan ini hendak mengajar kita tidak hanya bertahan dan sabar dengan keadaan, tetapi juga kita mesti bisa mengonversi derita menjadi hiburan kembali. 

Artinya, kita harus dilatih untuk bisa mengonversi penderitaan menjadi hiburan bagi diri. 

Kalaupun sampai saat ini negara belum menyediakan tenaga ahli untuk melatih keterampilan masyarakat mengoversi penderitaan menjadi hiburan, maka boleh sedikit berlagak  ilmiah dengan menguping petuah filsuf Prancis, Jaques Derrida tentang dekonstruksi. 

Paham dekontruksi menolak kebenaran mutlak (logosentrisme) atau kebenaran tunggal. Semua hal bermakna polisemi. Ia juga  menolak oposisi biner yang menjebakkan kita pada subjektivitas. Katakan hitam dan puitih, lalu menentukan putih yang lebih baik. 

Padahal, dalam konteks tertentu hitam lebih baik. Salah satu kharakteristik pembacaan dekonstruksi adalah aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi).

Jikalau  analogi dekontruksi Derrida kita gunakan  dalam konteks korupsi,  maka mari kita melipat rapi dalam pikiran kita sebuah hipotesis bahwa korupsi itu baik dan penting. Korupsi di Indonesia perlu disebarluaskan. 

Karena dari uang korupsi akan menyejaterahkan keluarga, kolega dan suku-sukunya. Ada jejaring untuk memeratakan korupsi melalui nepotisme, koncoisme, kerabatisme, dan mungkin mantuisme.  Lalu, dibuatkan regulasi. 

Misalnya, jabatan menteri cukup satu periode. Kemudian langsung diganti orang lain. Demikian, presiden DPR hanya satu periode, langsung diganti orang lain. 

Tidak boleh orang yang sama. Dengan demikian, terjadi pemerataan korupsi, dan berarti ada pemerataan kekayaan pada keluarga koruptor. Semakin luas korupsi, semakin luas pula keluarganya yang disejahterakan. Tentu, ini sekadar aporia untuk menghibur diri. 

Kelepak camar petang menyekah keasyikan gurauan kami. Pun, hujan di gunung, rintiknya sudah tiba di hati. Kami pun bubar tanpa sambutan penutup. 

Saya menuruti mereka dari belakang. Terlihat, punggung mereka kosong, tetapi ayunan langkah begitu berat seakan memikul beban yang begitu berat, beban sebagai rakyat Indonesia yang “gini-ginian”. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved