Opini

Opini: Indonesia Kita Pada Hari-hari Ini

Presiden Joko Widodo yang berkuasa selama dua periode (2014-2019 dan 2019-2024), kini tinggal berhitung hari akan menanggalkan otoritasnya.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Viktus Murin 

Menurut Bamsoet, sebelumnya pimpinan MPR telah menerima surat dari Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR Nomor 082/FPKBMPR/09/2024, yang substansinya adalah mengusulkan pengkajian kembali pasal 1 TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid

"Dengan tindakan administratif sebagai penegasan bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, dalam kerangka pemulihan nama baik Presiden RI ke-4, K.H. Abdurrahman Wahid," tegas Bamsoet dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR bersama Keluarga Besar Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid di Gedung Parlemen Jakarta, 29 September 2024. 

Menurut Bamsoet, keberpihakan Gus Dur pada pluralisme tidak terlepas dari komitmen kuatnya untuk menegakkan supremasi demokrasi yang berbasis pada kemanusiaan dan keadilan sosial. 

Bagi Gus Dur, memajukan demokrasi haruslah dalam satu tarikan napas dengan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perjuangan untuk mewujudkan rasa keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. 

"Begitu besar jasa-jasa Gus Dur dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi, demokrasi, dan keadilan sosial. Karena itu, rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Abdurrahman Wahid dipertimbangkan oleh pemerintah mendatang untuk mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta selaras dengan martabat kemanusiaan, jasa-jasa, dan pengabdiannya pada bangsa dan negara," urai Bamsoet di hadapan isteri mendiang Gus Dur, Hj. Shinta Nuriyah Wahid, serta keempat putri Gus Dur yakni Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. 

Martabat lembaga negara 

Indonesia kita pada hari-hari ini sungguh memerlukan ikhtiar kolektif dari elite-elite pengelola lembaga kenegaraan dalam bingkai trias politica yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif. 

Ketiga cabang  demokrasi pelembagaan negara ini sedang mengalami ujian nyata perihal bagaimana merawat kewibawaannya di mata rakyat, di tengah era media sosial (medsos) yang juga memiliki daya kuasanya sendiri. 

Di tengah rezim medsos, sungguh rentan martabat atau wibawa lembaga negara, apabila terjadi penyalagunaan kekuasaan (abuse of power) oleh para pemegang otoritasnya. 

Sekali para pemegang otoritas lembaga negara melanggar sumpah jabatannya, maka secara serta-merta menjadi 'makanan empuk' bagi  warga nitizen penghuni medsos. 

Sekali 'dirujak' oleh warga netizen, maka butuh waktu yang tidak cepat untuk memulihkan martabat dan atau nama baik lembaga. 

Oleh karena itulah dibutuhkan ikhtiar kolektif dari para elite negeri untuk "dengar-dengaran" pada amanah dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai kompas atau pedoman bagi laku kekuasaannya. 

Pada titik inilah dibutuhkan kesadaran posisi untuk terus-menerus mengasah hikmat kebijaksanaan di dalam diri saat melakoni kekuasaan yang melekat pada diri. 

Pada hari ini, Selasa 1 Oktober 2024, Anggota DPR RI, DPD RI, dan MPR RI  periode 2024-2029 telah diambil sumpah jabatannya di gedung beratap kubah, Senayan, Jakarta. 

Rakyat yang memilih mereka; para legislator dan senator itu, tidak hanya sedang menonton melalui layar kaca; acara pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan kaum elite kekuasaan itu, tetapi lebih dari itu menanti dengan penuh kesungguhan apa yang akan diperjuangkan oleh wakil-wakil rakyat dan para "utusan daerah" di hari-hari mendatang. 

Kelak, mereka yang amanah akan kembali diberi mandat oleh rakyat. Tetapi, sebaliknya, mereka yang lupa diri sebagai pemegang mandat rakyat, pasti akan dihukum oleh rakyat dengan cara dan logika demokrasi.

Demikianlah, ada perkataan orang bijak bestari bahwa "demokrasi memang selalu punya rasa sakit sendiri". 

Kekuasaan, lebih-lebih kekuasaan politik memang lazimnya memiliki seribu wajah; cenderung selalu berubah seturut cuaca dan atau musim kepentingan. 

Namun demikian, secara filsafati atau dalam ranah filosofis, kekuasaan itu akan mendatangkan manfaatnya apabila pemegang kekuasaan dengan kesadaran penuh, hadir untuk "memangku jabatan", dan bukan sebaliknya untuk "menduduki jabatan". 

Dalam diksi yang lain, kekuasaan akan menjadi kekuatan yang luhur dan bermanfaat bagi rakyat tatkala kekuasaaan itu "dipangku", dan bukannya "diduduki". (pertama dari dua seri tulisan)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved