Opini

Opini: Indonesia Kita Pada Hari-hari Ini

Presiden Joko Widodo yang berkuasa selama dua periode (2014-2019 dan 2019-2024), kini tinggal berhitung hari akan menanggalkan otoritasnya.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Viktus Murin 

Oleh: Viktus Murin
Tenaga Ahli Ketua MPR RI, mantan wartawan Pos Kupang 

POS-KUPANG.COM - Rezim waktu yang tidak pernah berhenti berputar, perlahan tapi pasti (slow but sure) akan menghentikan rezim pemerintahan dan atau penguasa-penguasa di bumi ini. Pun, tak terkecuali di negeri kita tercinta Indonesia. 

Presiden Joko Widodo yang berkuasa selama dua periode lima tahunan (2014-2019 dan 2019-2024), kini tinggal berhitung hari akan menanggalkan otoritasnya sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. 

Dua otoritas primer dalam genggaman Presiden Jokowi itu, bakal beralih ke tangan Prabowo Subianto sang presiden terpilih, yang segera dilantik di hadapan sidang paripurna istimewa MPR RI pada 20 Oktober 2024. 

Ketua MPR RI Dr.Bambang Soesatyo, SE, SH, MBA mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk dapat menjaga rasa hormat kepada setiap presiden yang telah memimpin negara di masanya masing-masing, dan telah meninggalkan "legacy kepemimpinan" yang berharga bagi bangsa Indonesia. 

Menurut Bamsoet - sapaan Bambang Soesatyo-  yang merupakan Ketua MPR ke-16 RI itu,  setiap Presiden Republik Indonesia, dari mulai Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden KH Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Joko Widodo, hingga nantinya Presiden Prabowo Subianto, harus dijaga kehormatan dan martabatnya. 

Sebab mereka adalah putra dan putri terbaik bangsa, yang telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kemajuan Indonesia. 

"Setiap Presiden memiliki legacy-nya masing-masing. Presiden Soekarno sebagai Bapak Proklamator, Presiden Soeharto Bapak Pembangunan, Presiden BJ Habibie Bapak Teknologi, Presiden KH Abdurrahman Wahid Bapak Pluralisme, Presiden Megawati Ibu Penegak Konstitusi, Presiden SBY Bapak Perdamaian, dan Presiden Joko Widodo Bapak Infrastruktur. Nama baik, kehormatan, dan martabat pribadi mereka merupakan bagian dari nama baik, kehormatan dan martabat Indonesia, karenanya harus selalu kita jaga," tegas Bamsoet seusai menghadiri Seminar Kebangsaan HUT ke-60 Fraksi Partai Golkar MPR RI, di Gedung Nusantara IV MPR, Selasa (24/9/2024). 

Bamsoet pun memberikan 'warning' mengenai kearifan sejarah bagi bangsa Indonesia. 

"Pimpinan MPR juga berpandangan sebagai sebuah bangsa yang besar, kita mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan setiap permasalahan bangsa dengan penuh kearifan dan melihat jauh ke depan, demi kepentingan anak cucu kita di masa yang akan datang. Jangan ada lagi dendam sejarah yang diwariskan pada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu, apalagi terlibat pada berbagai peristiwa kelam di masa lalu," demikian Bamsoet. 

Pernyataan Bamsoet patut diapresiasi. Jalannya sejarah memang tidak bisa diubah, namun boleh dipetik hikmahnya untuk pembelajaran bangsa di masa depan. 

Memaknai "terobosan bersejarah" yang ditempuh MPR RI di bawah kepemimpinan Bamsoet, kita boleh berkesimpulan bahwa tampaknya ada ikhtiar psiko-politis dari Pimpinan MPR untuk mengejawantahkan atau memanifestasikan "rekonsiliasi sejarah", demi kebaikan bangsa Indonesia di masa depan. 

Dengan soliditas dan kohesi rasa berbangsa yang lebih kuat di antara seluruh elemen bangsa, maka bangsa kita bakal lebih siap menyongsong dan memasuki era Indonesia Emas 2045 dengan gilang-gemilang. 

Tidak dapat dipungkiri, pasca transisi kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto di masa dulu (tahun 1966) seusai lembaran hitam sejarah yakni tragedi pemberontakan PKI tahun 1965, telah terjadi "rentang kendala atau gap ideologis"  di tengah bangsa Indonesia; di antara elemen-elemen masyarakat yang pro Bung Karno dengan yang pro  Pak Harto di pihak lainnya. Melalui pemulihan nama baik Bung Karno dan Pak Harto,  maka bangsa Indonesia tidak lagi terkuras energi kolektifnya  oleh "perang dingin kelompok ideologis" Orde Lama versus Orde Baru dengan segala rentetannya. 

Dalam konteks ini, patutlah dicatat bahwa kelahiran Orde Reformasi bukanlah merupakan sintesa dari proses tesa-antitesa Orla Vs Orba, melainkan lebih sebagai "interupsi moral" dari Gerakan Mahasiswa 1998 dan komponen politik penekan (pressure group) yang ketika itu telah jengah dengan fakta kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di tengah rezim Orba,  yang telah merapuhkan dan akhirnya meruntuhkan kekuasaan Pak Harto sebagai pemimpin nasional pada masa itu.

Dalam pada itu, atas berbagai kenyataan pahit di masa lalu, tak terkecuali  atas terjadinya beberapa kasus pelanggaran HAM dalam domain tanggung jawab negara, Presiden Jokowi sendiri  sudah membuat pernyataan maaf mewakili negara terhadap keluarga para korban, sekaligus mendorong penyelidikan tuntas atas beberapa peristiwa pelanggaran HAM termaksud. 

Yang harus didorong ke depan oleh civil society adalah agar negara mesti memberikan kompensasi nyata kepada  keluarga para korban sebagai manifestasi riil atas pernyataan maaf dari negara. 

Akan halnya rekonsiliasi nasional bertautan dengan pelanggaran HAM, patutlah dicamkan bahwa rekonsiliasi memang selalu mengandaikan adanya "semangat berkorban" dari dua elemen yang berdiri secara vis a vis; negara di satu sisi, dan pihak korban di sisi lainnya. 

Semangat berkorban itu mutlak dibutuhkan agar sejarah hitam di masa lalu tidak terus menjerat perjalanan suatu bangsa ke masa depan. 

Sebagai contoh elegan rekonsiliasi nasional, negara Afrika Selatan di bawah kepemimpinan mendiang Presiden Nelson Mandela, telah berhasil menuntaskan rekonsiliasi bangsanya akibat trauma berkepanjangan dari pemberlakuan politik apertheid (politik rasialalis atau perbedaan warna kulit). 

Mendiang Mandela semasa kekuasaannya sebagai Presiden Afsel, telah  mampu mengajak bangsanya untuk dan bersama-sama berjalan ke depan, bangkit dari dampak politik apertheid yang begitu menyakitkan! 

Alhasil, Afsel kini terus bergerak maju mengejar cita-cita bangsanya, tanpa terjerat lagi dalam kerangkeng dendam kesumat akibat politik apertheid di masa lalu. 

Pemulihan martabat pemimpin 

MPR yang secara de facto dan atau secara simbolik ketatanegaraan masih terus memainkan peran sebagai "lembaga tertinggi negara", harus diakui telah membuat suatu "lompatan jauh secara historis" dengan memulihkan nama baik para mantan presiden dalam hal ini Presiden RI yang pertama; Presiden Soekarno (Bung Karno), Presiden kedua RI, Presiden Soeharto (Pak Harto), dan Presiden ke-4 RI; Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). 

Pada tanggal 9 September 2024, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyerahkan Dokumen Surat Pimpinan MPR RI yang ditandatangani 10 pimpinan MPR kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Supratman Andi Agtas dan kepada Ahli Waris Keluarga Besar Presiden Soekarno

Surat Pimpinan MPR tersebut merupakan jawaban atas Surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HHHH.04.01-84 tanggal 13 Agustus 2024 perihal Tindak Lanjut Tidak Berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. 

Menurut Bamsoet, melalui surat tersebut,  MPR menegaskan bahwa secara yuridis tuduhan terhadap Presiden Soekarno yang dianggap memberikan kebijakan yang mendukung pemberontakan dan pengkhianatan G-30-S/PKI pada tahun 1965, dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960-2022. 

Hal ini dikarenakan TAP MPRS No.XXXIII / MPRS / 1967 telah dinyatakan sebagai kelompok Ketetapan MPRS yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat "einmalig" (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. 

Namun demikian, meskipun TAP MPRS Nomor XXXIII/ MPR / 1967 tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi, namun masih menyisakan persoalan yang bersifat psikologis dan politis yang harus dituntaskan karena tidak pernah dibuktikan menurut hukum dan keadilan, serta telah bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum sesuai ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. 

Surat Pimpinan MPR itu diserahkan oleh Bamsoet dalam acara Silaturahmi Kebangsaan dan  penyerahan dokumen Surat Pimpinan MPR, kepada Menkumham RI dan Keluarga Besar Bung Karno yang diwakili oleh Guntur Soekarno Putra dan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, di Ruang Delegasi Gedung MPR RI,Senayan. 

Sekira dua pekan seusai momen "deklarasi" pemulihan nama baik Bung Karno, Pimpinan MPR "mendeklarasikan" pemulihan nama baik Pak Harto, dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR Dengan Keluarga Besar (alm) Presiden RI ke-2 Soeharto

Dalam momen tersebut, Bamsoet menjelaskan di dalam Sidang Paripurna MPR RI Akhir Masa Jabatan 1019-2024, Pimpinan MPR RI menyatakan Ketetapan MPR Nomor XI/ MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, khususnya pada ketentuan pasal 4 yang secara eksplisit menyebutkan nama mantan Presiden Soeharto, dinyatakan sudah dilaksanakan, tanpa mencabut Ketetapan MPR tersebut,  maupun mengurangi makna yang termaktub secara umum dalam pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut. 

Hal mana karena MPR pasca amandemen keempat tidak lagi memiliki kewenangan membuat atau mencabut TAP. 

Bamsoet menegaskan, Pimpinan MPR bersepakat terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, secara diri pribadi Bapak Haji Muhammad Soeharto, dinyatakan telah selesai dilaksanakan. 

"Hal ini juga tercermin dari adanya pandangan akhir fraksi dan kelompok DPD RI, serta telah disampaikan di dalam Sidang Paripurna MPR RI Akhir Masa Jabatan 2019-2024 pada tanggal 25 September 2024," papar Bamsoet dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR dengan Keluarga Besar (alm) Presiden ke-2 RI, Soeharto, di Gedung Parlemen Jakarta, 28 September 2024. 

Hadir mewakili keluarga Pak Harto adalah Siti Hardiyanti Hastuti, dan Siti Hediati Hariyadi. 

Merujuk pada Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Bamsoet menegaskan bahwa Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dikelompokkan ke dalam kategori Ketetapan MPR yang dinyatakan “tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang. 

Selanjutnya pada pasal 4 angka 2 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, keberlakuannya dipertegas dengan rumusan “sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut”. 

Artinya, pemberlakuan ketentuan pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang secara eksplisit menyebutkan nama mantan Presiden Soeharto, tolok ukur pemberlakuannya adalah implementasi dari ketentuan pada pasal 4 tersebut. 

Ditegaskan pula, dari serangkaian fakta hukum yang mengemuka, pada akhirnya bermuara pada hadirnya kepastian hukum bagi mantan Presiden Soeharto, yakni antara lain dengan terbitnya Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) pada tahun 2006 oleh Kejaksaan Agung, sesuai ketentuan pasal 140 ayat (1) KUHAP, dan terbitnya Keputusan Mahkamah Agung nomor 140 PK/Pdt/2015, serta dengan telah berpulangnya mantan Presiden Suharto pada tanggal 27 Januari 2008. 

"Dengan mempertimbangkan berbagai fakta hukum di atas, penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dinyatakan telah selesai dilaksanakan," tegas pBamsoet. 

Pimpinan MPR RI bahkan memastikan sikapnya bahwa mengingat begitu besar jasa-jasa Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan dalam memajukan kehidupan bangsa dan negara, maka Pak Harto layak diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. 

Sehari usai silaturahmi kebangsaan dengan keluarga Pak Harto, Pimpinan MPR RI melakukan acara serupa dengan  keluarga besar Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid.  

Dalam kesempatan itu, mewakili Pimpinan MPR Bamsoet menegaskan bahwa TAP MPR Nomor II/ MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, kedudukan hukumnya sudah tidak berlaku lagi.  

Karenanya seluruh implikasi hukum yang terkait menjadi gugur dengan sendirinya. Penegasan ini tercermin dari pandangan akhir fraksi MPR dan kelompok DPD RI, serta telah disampaikan di dalam Sidang Paripurna MPR RI Akhir Masa Jabatan 2019-2024 pada tanggal 25 September 2024. 

Menurut Bamsoet, sebelumnya pimpinan MPR telah menerima surat dari Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR Nomor 082/FPKBMPR/09/2024, yang substansinya adalah mengusulkan pengkajian kembali pasal 1 TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid

"Dengan tindakan administratif sebagai penegasan bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, dalam kerangka pemulihan nama baik Presiden RI ke-4, K.H. Abdurrahman Wahid," tegas Bamsoet dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR bersama Keluarga Besar Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid di Gedung Parlemen Jakarta, 29 September 2024. 

Menurut Bamsoet, keberpihakan Gus Dur pada pluralisme tidak terlepas dari komitmen kuatnya untuk menegakkan supremasi demokrasi yang berbasis pada kemanusiaan dan keadilan sosial. 

Bagi Gus Dur, memajukan demokrasi haruslah dalam satu tarikan napas dengan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perjuangan untuk mewujudkan rasa keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. 

"Begitu besar jasa-jasa Gus Dur dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi, demokrasi, dan keadilan sosial. Karena itu, rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Abdurrahman Wahid dipertimbangkan oleh pemerintah mendatang untuk mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta selaras dengan martabat kemanusiaan, jasa-jasa, dan pengabdiannya pada bangsa dan negara," urai Bamsoet di hadapan isteri mendiang Gus Dur, Hj. Shinta Nuriyah Wahid, serta keempat putri Gus Dur yakni Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. 

Martabat lembaga negara 

Indonesia kita pada hari-hari ini sungguh memerlukan ikhtiar kolektif dari elite-elite pengelola lembaga kenegaraan dalam bingkai trias politica yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif. 

Ketiga cabang  demokrasi pelembagaan negara ini sedang mengalami ujian nyata perihal bagaimana merawat kewibawaannya di mata rakyat, di tengah era media sosial (medsos) yang juga memiliki daya kuasanya sendiri. 

Di tengah rezim medsos, sungguh rentan martabat atau wibawa lembaga negara, apabila terjadi penyalagunaan kekuasaan (abuse of power) oleh para pemegang otoritasnya. 

Sekali para pemegang otoritas lembaga negara melanggar sumpah jabatannya, maka secara serta-merta menjadi 'makanan empuk' bagi  warga nitizen penghuni medsos. 

Sekali 'dirujak' oleh warga netizen, maka butuh waktu yang tidak cepat untuk memulihkan martabat dan atau nama baik lembaga. 

Oleh karena itulah dibutuhkan ikhtiar kolektif dari para elite negeri untuk "dengar-dengaran" pada amanah dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai kompas atau pedoman bagi laku kekuasaannya. 

Pada titik inilah dibutuhkan kesadaran posisi untuk terus-menerus mengasah hikmat kebijaksanaan di dalam diri saat melakoni kekuasaan yang melekat pada diri. 

Pada hari ini, Selasa 1 Oktober 2024, Anggota DPR RI, DPD RI, dan MPR RI  periode 2024-2029 telah diambil sumpah jabatannya di gedung beratap kubah, Senayan, Jakarta. 

Rakyat yang memilih mereka; para legislator dan senator itu, tidak hanya sedang menonton melalui layar kaca; acara pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan kaum elite kekuasaan itu, tetapi lebih dari itu menanti dengan penuh kesungguhan apa yang akan diperjuangkan oleh wakil-wakil rakyat dan para "utusan daerah" di hari-hari mendatang. 

Kelak, mereka yang amanah akan kembali diberi mandat oleh rakyat. Tetapi, sebaliknya, mereka yang lupa diri sebagai pemegang mandat rakyat, pasti akan dihukum oleh rakyat dengan cara dan logika demokrasi.

Demikianlah, ada perkataan orang bijak bestari bahwa "demokrasi memang selalu punya rasa sakit sendiri". 

Kekuasaan, lebih-lebih kekuasaan politik memang lazimnya memiliki seribu wajah; cenderung selalu berubah seturut cuaca dan atau musim kepentingan. 

Namun demikian, secara filsafati atau dalam ranah filosofis, kekuasaan itu akan mendatangkan manfaatnya apabila pemegang kekuasaan dengan kesadaran penuh, hadir untuk "memangku jabatan", dan bukan sebaliknya untuk "menduduki jabatan". 

Dalam diksi yang lain, kekuasaan akan menjadi kekuatan yang luhur dan bermanfaat bagi rakyat tatkala kekuasaaan itu "dipangku", dan bukannya "diduduki". (pertama dari dua seri tulisan)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved