Sidang Kasus Prada Lucky

Penganiaya Prada Lucky Nami Boleh jadi Anggota Militer  

Sidang lanjutan kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian Prada Lucky Namo, digelar di Pengadilan Militer III-15 Kupang

POS-KUPANG.COM/RAY REBON
DEDDY MANAFE - Deddy Manafe, saksi ahli militer dalam sidang kasus kematian Prada Lucky menjelaskan pasal 131 KUHPM, dalam sidang di Pengadilan Militer III/15 Kupang, Rabu (19/11).   

Ringkasan Berita:
  • Sidang lanjutan kasus penganiayaan berat yang menyebabkan kematian Prada Lucky Namo kembali digelar di Pengadilan Militer III-15 Kupang, Rabu (19/11). 
  • Ahli Hukum Pidana Militer dari Undana Kupang, Deddy Manafe menjelaskan, Hukum Materiil KUHPM sendiri sudah memberi petunjuk bahwa tindak pidana yang sangat serius, melampaui batas. Penyiksaan berakibat mati, tidak layak lagi bagi seorang prajurit. 

 

 

POS-KUPANG.COM, KUPANG – Sidang lanjutan kasus penganiayaan berat yang menyebabkan kematian Prada Lucky Namo kembali digelar di Pengadilan Militer III-15 Kupang, Rabu (19/11). Sidang dengan nomor perkara 42-K/PM.III-15/AD/X/2025.

Sidang menghadirkan saksi Ahli Hukum Pidana Militer dari Undana Kupang, Deddy Raymond Christoffel Manafe, SH., M.Hum, serta Letkol Inf Justikhandinata T,  Komandan Batalyon  TP 834/MW tempat Prada Lucky berdinas atau TKP.

Sidang ini memeriksa berkas perkara yang melibatkan empat terdakwa: Ahmad Ahda, Emeliano De Araujo, Petrus Nong Brian Semi, dan Aprianto Rede Radja.

Sidang dipimpin Majelis Hakim yang terdiri dari Mayor Chk Subiyatno, S.H., M.H., sebagai Hakim Ketua; serta Kapten Chk Dennis Carol Napitupulu, S.E., S.H., M.M. dan Kapten Chk Zainal Arifin Anang Yulianto, S.H., M.H., sebagai Hakim Anggota.

Tim Oditur Militer diwakili oleh Letkol Chk Yusdiharto, S.H., Mayor Chk Wasinton Marpaung, S.H., dan Letkol Chk Alex Panjaitan, S.T., S.H., sementara panitera adalah Letda Chk I Nyoman Dharma Setyawan, S.H.

Ahli mengurai perdebatan krusial mengenai penerapan pasal pidana umum dalam peradilan militer. Perdebatan muncul ketika Hakim mempertanyakan batasan penerapan hukum. 

Secara Hukum Materiil (isi pasal), seorang militer bisa saja dijerat dengan pasal umum yang berat, seperti pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), karena ancamannya jauh lebih tinggi daripada KUHP Militer. Namun, secara hukum formil (proses peradilan), pelaku tetap diadili di Peradilan Militer.

Dedi Manafe menjelaskan, Hukum Materiil KUHPM sendiri sudah memberi petunjuk bahwa tindak pidana yang sangat serius, melampaui batas. Penyiksaan berakibat mati, tidak layak lagi bagi seorang prajurit. 

“Logika ini memicu pertanyaan: jika pasal umum yang berat diterapkan, haruskah status militer pelaku dicabut? Ayat 4 bilang kalau ada ketentuan yang lebih umum dan bobotnya lebih berat, maka yang umum itu yang diberlakukan. Artinya pelakunya tidak boleh militer lagi," kata Manafe.

Manafe kemudian menegaskan, meskipun logika hukum pidana umum menuntut pelaku kejahatan berat (seperti pembunuhan) agar kehilangan status militernya, keputusan akhir tetap berada di tangan Majelis Hakim. 

Hal ini berkaitan dengan perbedaan antara pidana pokok (hukuman penjara) dan Pidana Tambahan (pencopotan status/PTDH). "Yang paling tidak boleh dihindari adalah pidana pokok. Karena kalau sudah memenuhi unsur delik, pidana pokok harus dijatuhkan," jelasnya.

Sedangkan PTDH, menurut Ahli, adalah pidana tambahan. Penerapannya bersifat menambah dan menjadi kewenangan Majelis Hakim berdasarkan pertimbangan. 

Dikatakan, hakim bisa saja memutuskan untuk menerapkan pasal pidana umum yang sangat berat (pidana pokok), namun memutuskan untuk tidak mencopot status (pidana tambahan), meskipun ini bertentangan dengan semangat hukum materiil yang menganggap pelaku sudah tidak layak lagi menjadi militer.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved