Liputan Khusus
LIPSUS: Ketua DPRD NTT Emi Nomleni Tuding Wartawan Provokasi, Tunjangan DPRD yang Fantastis
Gubernur NTT Melki Laka Lena menyebut tunjangan yang diterima pimpinan dan anggota DPRD NTT dengan nilai fantastis, karena kebutuhan Dapil
Penulis: Irfan Hoi | Editor: OMDSMY Novemy Leo
Harga sewa kendaraan untuk pimpinan dan anggota DPRD NTT lebih besar dari Standar Biaya Umum (SBU) tahun anggaran 2025. Pemprov NTT mengatur SBU dalam Peraturan Gubernur (Pergub) 25 tahun 2025 tentang SBU tahun anggaran 2025. Pos Kupang pada Minggu (7/9) mendapat salinan SBU tersebut.
Dalam ketentuan itu, menjelaskan SBU mengatur mengenai batas tertinggi yang tidak boleh dilampaui, baik dalam perencanaan anggaran maupun pelaksanaan anggaran.
Batasan itu mencakup satuan biaya honorarium, satuan biaya jasa pendukung kegiatan, satuan biaya uang lembur dan uang makan lembur, satuan biaya sewa peralatan dan mesin, satuan biaya sewa bangunan gedung kantor/gedung tempat tinggal, satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri, maupun satuan biaya paket kegiatan rapat atau pertemuan di luar kantor.
SBU juga digunakan sebagai pedoman standar harga satuan regional serta memuat standar harga satuan barang dan jasa sesuai karakteristik daerah memperhatikan tingkat kemahalan yang berlaku di Provinsi NTT.
Halaman 59 dokumen itu menjelaskan, sewa kendaraan bermotor beroda empat untuk operasional pejabat, termasuk DPRD NTT.
Baca juga: LIPSUS: Tunjangan Rumah untuk Pimpinan DPRD Flores Timur Rp 2 Miliar Lebih
Dokumen itu menjelaskan definisi satuan biaya sewa kendaraan operasional pejabat. Penjabarannya merupakan satuan biaya yang digunakan untuk kebutuhan biaya sewa kendaraan beroda empat yang difungsikan sebagai kendaraan dinas kantor sebagai pengganti pengadaan kendaraan melalui pembelian.
Merujuk dokumen yang sama, harga sewa kendaraan roda empat untuk pejabat yakni Rp 17,5 juta per unit per bulan bagi kendaraan 2.600-2.8000 cc. Kemudian untuk kendaraan 2.000-2.500 cc harga sewanya Rp 10,5 juta per unit per bulan.
Harga tersebut diperuntukkan pada sewa kendaraan dalam Kota Kupang. Sedangkan untuk wilayah luar Kota Kupang, ditetapkan harga sewa Rp 980.000 dalam kegiatan kategori insidental untuk kendaraan roda empat kategori 2.600-2.800 cc.
Jika dilihat pada Peraturan Gubernur (Pergub) NTT nomor 22 tahun 2025 tentang tunjangan transportasi dan perumahan pimpinan dan anggota DPRD NTT, maka terjadi selisih harga sewa dengan SBU. (fan)
DPRD Kota Kupang Rp 8 Juta Lebih
Ketua DPRD Kota Kupang, Richard E. Odja, menegaskan tidak ada kenaikan gaji maupun tunjangan bagi anggota DPRD Kota Kupang. Seluruh penerimaan dewan tetap mengikuti aturan yang berlaku serta hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Richard Odja menjelaskan, anggota DPRD Kota Kupang saat ini masih menerima tunjangan perumahan dan transportasi seperti yang telah ditetapkan sejak beberapa tahun lalu. Untuk tunjangan transportasi atau mobil, nilainya sebesar Rp 13 juta per bulan. Sementara tunjangan perumahan Rp 8 juta lebih.
"Tunjangan ini telah berlaku sudah dari berapa tahun lalu. Kami tidak ada kenaikan tunjangan dan lain-lain," kata Richard Odja di Kantor DPRD Kota Kupang, Senin (8/9).
Richard Odja mengakui tunjangan DPRD Kota Kupang sempat mengalami kenaikan, namun kemudian dilakukan penyesuaian kembali setelah adanya hasil pemeriksaan BPK.
"Gaji dan tunjangan kami mengikuti hasil dan review BPK. Kami tidak ada hak untuk mengatakan bahwa besaran gaji dan tunjangan saat ini pas atau tidak, karena kami selalu mengikuti aturan yang ada," tegas Richard Odja.
Menurut Richard Odja, besaran gaji dan tunjangan yang diterima para anggota dewan bukanlah hasil keputusan sepihak, melainkan sudah diatur dalam regulasi resmi yang mengacu pada standar pemeriksaan keuangan negara.
Richard Odja menegaskan bahwa selama tiga tahun terakhir ini tidak ada kenaikan tunjangan bagi anggota DPRD Kota Kupang.
Besaran tunjangan yang diterima anggota dewan saat ini telah melalui proses pemeriksaan dan review Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Baca juga: LIPSUS: Tunjangan Perumahan DPRD NTT Fantastis Rp 283,2 Juta Per Tahum
Richard Odja merinci, tunjangan yang diterima anggota DPRD Kota Kupang saat ini berada di kisaran Rp8 juta lebih, ditambah dengan tunjangan transportasi sekitar Rp12–13 juta. Angka tersebut bukan hasil keputusan internal DPRD, melainkan sesuai arahan regulasi dan hasil pemeriksaan auditor negara.
Richard Odja juga menepis anggapan bahwa dewan baru-baru ini mendapat kenaikan tunjangan. “Tidak ada yang naik. Sudah tiga tahun terakhir ini tetap sama, tidak ada perubahan,” tegasnya. (uan)
Tuntut Keadilan bagi Rakyat Kecil
Puluhan massa dari elemen masyarakat sipil, buruh, nelayan, serta organisasi kemasyarakatan menggelar aksi damai di halaman Kantor DPRD Kota Kupang, Senin (8/9/2025).
Aksi bertajuk Buruh Flobamora Menuntut Keadilan ini sebelumnya dilakukan secara bergiliran di Kantor Gubernur NTT, DPRD NTT.
Massa aksi terdiri dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB), serta perwakilan masyarakat pekerja yang menyoroti berbagai persoalan ketidakadilan di dunia kerja maupun kehidupan sosial di Kota Kupang.
Dalam aksi tersebut, sejumlah tokoh menyampaikan orasi dengan tuntutan di antaranya, Ketua SBSI NTT, Daud Mboeik, menyoroti persoalan hak kerja karyawan yang dianggap tidak sesuai aturan.
Menurut Daud Mboeik, masih banyak perusahaan memperkerjakan buruh tanpa memberikan hak lembur, cuti, maupun perlindungan kerja yang layak. Ia juga menyinggung praktik bantuan sosial yang tidak tepat sasaran.
Koordinator aksi, Ebenhezer T. Sely, menekankan pentingnya perhatian terhadap anak-anak buruh. Oleh karena itu Ia mendesak pemerintah agar menyiapkan program beasiswa khusus bagi anak pekerja agar mereka tetap dapat melanjutkan pendidikan.
Sementara Ketua DPD GRIB Jaya NTT, Ferdi Wadu, menyoroti keberadaan juru parkir liar di Kota Kupang yang dinilai meresahkan masyarakat.
Ferdi Wadu meminta Pemkot segera menertibkan dan memberikan regulasi yang jelas agar masyarakat tidak dirugikan.
Selain tiga tuntutan utama, perwakilan massa juga meminta Wali Kota Kupang untuk meninjau kembali izin-izin perusahaan yang beroperasi di Kota Kupang.
Baca juga: LIPSUS: 3,5 Jam Melki-Emi Bersama Massa Aksi Damai Cipayung Plus di DPRD NTT
Mereka menilai banyak perusahaan besar yang justru mengklaim diri sebagai Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk menghindari kewajiban membayar upah sesuai aturan.
“Rata-rata pengusaha di Kupang masuk kategori UMKM hanya di atas kertas. Padahal mereka punya cabang di mana-mana. Ini jelas manipulasi data, negara rugi, dan buruh jadi korban. Kalau seperti ini, Dinas Ketenagakerjaan juga tidak bekerja maksimal,” tegas Daud Mboeik.
Menurut massa, praktik tersebut membuat buruh dipaksa menerima upah rendah atas dasar “upah kesepakatan” yang tidak sesuai standar. Kondisi ini dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap aturan ketenagakerjaan sekaligus kerugian negara karena pajak tidak dibayarkan sesuai klasifikasi usaha.
Massa juga mengungkapkan berbagai pengalaman pahit para buruh, mulai dari pemecatan sepihak tanpa pesangon hingga pekerja yang diberhentikan hanya melalui pesan singkat.
“Ada pekerja yang sudah mengabdi sebelas tahun, tapi dipecat hanya lewat WhatsApp. Ini sangat tidak manusiawi,” ujar Ebenhezer T. Sely.
Wali Kota Kupang, dr. Christian Widodo menegaskan komitmennya untuk mendengar, mencatat, serta menindaklanjuti semua masukan dari masyarakat.
Christian Widodo juga meminta maaf apabila kinerja sejumlah dinas belum maksimal, mengingat dirinya baru enam bulan memimpin Kota Kupang.
“Saya sebagai pemimpin harus berdiri paling depan untuk meminta maaf. Kalau ada kesalahan, saya yang ambil. Nanti saya benahi bersama OPD terkait,” tegas Christian Widodo.
Menanggapi keluhan buruh soal perusahaan besar yang mengaku sebagai UMKM untuk menghindari kewajiban membayar upah sesuai aturan, Wali Kota mengaku akan menindaklanjuti temuan tersebut.
“Kalau ada perusahaan yang tercatat UMKM tapi punya cabang di mana-mana, itu manipulasi data. Saya sudah catat, dan nanti akan saya bahas dalam rapat bersama dinas terkait,” kata Christian Widodo.
Soal pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, bahkan ada yang dilakukan hanya melalui pesan WhatsApp, Wali Kota menilai praktik itu tidak manusiawi.
“Pekerja yang sudah puluhan tahun tidak boleh dipecat begitu saja tanpa pesangon. Apalagi hanya lewat WA. Ini harus dipanggil, disurati, dan diminta pertanggungjawaban,” tegas Christian Widodo. (uan)
NEWS ANALISIS
Pengamat Kebijakan Publik, Dr. Deford Nasareno Lakapu : Defisit Legitimasi
Gelombang aksi demonstrasi yang terus terjadi, termasuk di NTT ini mencerminkan persoalan serius dalam relasi antara rakyat dan pemerintah merupakan defisit legitimasi.
Demo yang terjadi berulang kali ini bukan sekadar aksi sporadis, tapi cerminan dari jaraknya masyarakat dan negara. Ada defisit legitimasi. Pemerintah tidak benar-benar tahu apa kebutuhan rakyat, rakyat pun tak memahami apa yang sebenarnya dikerjakan pemerintah.
Defisit legitimasi ini terjadi karena minimnya komunikasi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses perumusan kebijakan. Demokrasi prosedural yang hanya hidup di masa pemilu tak cukup menjawab ekspektasi publik terhadap keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas.
Demonstrasi merupakan kanal kontrol sosial yang sah dan sehat dalam negara demokrasi. Namun, yang memprihatinkan adalah ketika aksi turun ke jalan menjadi satu-satunya pilihan karena kanal formal seperti DPRD, musyawarah pembangunan, hingga konsultasi publik tidak berjalan efektif.
Kalau kanal formal mandek, jangan heran kalau jalan raya jadi forum sidang rakyat. Demo adalah bentuk ekspresi ketidakpuasan publik yang tak tertampung dalam sistem. Itu sinyal kuat bagi pemerintah untuk berbenah, bukan dimusuhi.
Saya mengapresiasi langkah preventif Pemprov NTT dan Forkopimda yang memfasilitasi aksi damai seperti gerakan "NTT Cinta Damai". Namun jangan sampai upaya menjaga ketertiban hanya berhenti sebagai simbol tanpa sentuhan konkret terhadap akar masalah.
Terkait sorotan publik terhadap besaran tunjangan DPRD NTT, saya menilai pentingnya transparansi dan logika keadilan. Informasi besaran tunjangan didasarkan pada kinerja yang sepadan, beban kerja yang terukur, dan kebutuhan operasional yang jelas.

Tapi ketika masyarakat melihat angka besar tanpa kerja yang nyata, wajar jika muncul penolakan. Rakyat tidak anti terhadap tunjangan, mereka hanya ingin tahu pantaskah?
Di saat kita bicara efisiensi nasional, sementara NTT masih bergulat dengan stunting dan kemiskinan. Lalu muncul angka-angka fantastis untuk tunjangan, ya jelas itu memicu kemarahan sosial.
Aksi damai di NTT seperti bakar lilin atau demo yang membersihkan sampah setelah aksi adalah simbol moral yang baik. Tapi jangan sampai itu dijadikan pembungkus ilusi. Damai itu penting, tapi kedamaian yang tidak menyentuh akar masalah hanya akan jadi ilusi.
Demo yang sopan bukan berarti tuntutannya tidak serius. Kita tetap punya PR besar: ketimpangan, kemiskinan, ketidakadilan.
Saya meminta pemerintah dan DPRD NTT tidak berlindung di balik simbolisme damai semata, tetapi justru memanfaatkan momentum ini untuk membuka ruang dialog nyata, konsisten, dan reguler. Jangan berharap rakyat percaya jika yang mereka lihat hanya upacara dan spanduk. Respon harus konkret. (Iar)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Demo Tunjangan DPRD NTT
Demo Kenaikan Tunjangan DPR RI
Ketua DPRD NTT
Emi Nomleni
POS-KUPANG.COM
Liputan Khusus
Liputan Khusus Pos Kupang
ekslusif
Meaningful
Melki Laka Lena
Richard Odja
Daud Mboeik
Ebenhezer T. Sely
Ferdi Wadu
Christian Widodo
Deford Nasareno Lakapu
LIPSUS: 3,5 Jam Melki-Emi Bersama Massa Aksi Damai Cipayung Plus di DPRD NTT |
![]() |
---|
LIPSUS: Tunjangan Perumahan DPRD NTT Fantastis Rp 283,2 Juta Per Tahum |
![]() |
---|
LIPSUS: Dansatgas Bawa Kado untuk Paulus Taek Oki, korban penembakan UPF |
![]() |
---|
LIPSUS: Warga Inbate Dengar Letusan Senjata Bentrok di Perbatasan Distrik Oecusse |
![]() |
---|
LIPSUS: Paulus Ditembak dari Jarak 5 Meter, Pengakuan Korban Penembakan UPF Tiles |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.