Opini
Opini: Suara dari Lasiana, Ketika Birokrasi Lupa Mendengar
Lasiana hari ini bukan hanya kisah tentang tarif dan karcis, tetapi tentang jarak yang makin lebar antara pemerintah dan warganya.
Oleh : Try Suriani Loit Tualaka
Peneliti Junior di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC)
POS-KUPANG.COM - Di tepi Pantai Lasiana, Kota Kupang, angin laut masih berhembus seperti dulu, tetapi suara tawa pengunjung kian jarang terdengar.
Lapak-lapak yang dahulu hidup oleh aktivitas jual beli kini banyak yang tertutup rapat, sementara mama-mama pedagang duduk menunggu pembeli yang tak lagi datang.
Sepinya pantai menjalar ke seluruh kehidupan warga yang menggantungkan nafkah pada keramaian itu.
Sejak kebijakan kenaikan tarif retribusi diberlakukan, jumlah pengunjung merosot drastis dan roda ekonomi rakyat perlahan kehilangan denyutnya.
Baca juga: Tarif Masuk ke Pantai Lasiana Kota Kupang Mahal Pengunjung Sepi UMKM Terancam
Di atas kertas, kebijakan ini diklaim sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD); namun di lapangan, ia berubah menjadi beban yang menekan masyarakat kecil yang hidupnya bertumpu pada setiap langkah wisatawan yang memasuki pantai tersebut.
Lasiana hari ini bukan hanya kisah tentang tarif dan karcis, tetapi tentang jarak yang makin lebar antara pemerintah dan warganya.
Ketika mama-mama pedagang mendatangi kantor Dinas Pariwisata untuk menyampaikan keluhan, mereka tidak menuntut banyak hanya ingin didengar.
Namun yang mereka terima justru jawaban dingin: “Kalau tidak laku, tutup saja.”
Ungkapan itu bukan sekadar kegagalan komunikasi, melainkan tanda hilangnya empati dari birokrasi yang seharusnya hadir sebagai pelayan publik.
Pantai yang dulu menjadi ruang hidup, ruang bermain, dan ruang ekonomi rakyat, kini berubah menjadi cermin sunyi tentang bagaimana kebijakan publik kehilangan wajah manusianya.
Birokrasi lupa bahwa di balik setiap angka retribusi ada perut yang harus diisi dan keluarga yang berjuang untuk bertahan.
Posisi saya sederhana: masalah utama Lasiana bukan terletak pada tarif itu sendiri, melainkan pada orientasi pembangunan yang menempatkan rakyat sebagai objek pungutan, bukan subjek pelayanan.
Ketika PAD menjadi prioritas yang mengalahkan keberlanjutan sosial, kebijakan apa pun betapapun legal dapat menjelma menjadi instrumen penindasan yang bekerja dalam senyap.
Kebijakan kenaikan tarif ini berlandaskan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Try Suriani Loit Tualaka
Pantai Lasiana
tarif retribusi daerah
kenaikan tarif
Dinas Pariwisata NTT
Opini Pos Kupang
Nusa Tenggara Timur
| Opini - Gotong Royong Tanpa APBN: Bukti Nyata Kasih Kristus dan Kemandirian Umat Merayakan Natal |
|
|---|
| Opini: Urgensi Redenominasi Rupiah Dalam Timbangan Etika Kemanfaatan |
|
|---|
| Opini: Harapan di Tengah Absurditas Politik |
|
|---|
| Opini: Revitalisasi Tapa Kolo dan Tradisi Wae Rasan |
|
|---|
| Opini: Menagih Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Try-Suriani-Loit-Tualaka3.jpg)