Opini
Opini: Harapan di Tengah Absurditas Politik
Api harapan itu ada di dalam diri kita sebagai anak bangsa, baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat biasa.
Oleh: Yantho Bambang
Biarawan Rogationist, tinggal di Manila
POS-KUPANG.COM - “Negeri Di Ujung Tanduk”. Demikian judul salah satu novel karya Tere Liye yang paling laris dan banyak dibaca.
Novel setebal 360 halaman itu menggambarkan ketidakadilan, kebohongan, pengkhianatan, kebobrokkan, perjuangan dan harapan di tengah masyarakat yang tertekan.
Kendati novel itu merupakan karya fiktif namun bila ditelisik lebih dalam scenario dan situasinya terlihat sedikit relevan dengan skenario dan situasi negara kita hari-hari ini.
Setali tiga uang dengan situasi yang digambarkan dalam novel itu, situasi negara kita dewasa ini juga kian hari - kian meredup; demokrasi merosot, KKN meningkat, ketidakadilan dan kemiskinan merajalela, ketimpangan sosial menganga, dan pengkhiatan demi pengkhianatan semakin menjadi-jadi.
Baca juga: Ribka Tjiptaning Dilaporkan ke Polisi Buntut Pernyataan Tentang Soeharto
Ironisnya, di tengah situasi bangsa yang demikian, muncul berita baru yang kemudian menuai sejumlah tanggapan dan kritik di mana pemerintah resmi menetapkan presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai pahlawan nasional.
Tanggapan dan kritik tersebut memang wajar karena hal itu semakin mempertegas absurditas politik negara kita hari-hari ini.
Soeharto dan Pahlawan Nasional
Menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional sejatinya merupakan puncak absurditas politik negara ini.
Mengapa? Karena memperbincangkan sosok Soeharto tidak pernah terlepas dari rezim yang pernah memerintah negara ini beberapa dekade lalu.
Terlepas dari sejumlah kontribusinya dalam bidang pembangunan (infrastruktur), pertanian, dan dalam memodernisasi bangsa, publik tetap mengenal regimnya sebagai rezim totaliter dan sentralistik.
Di mana-mana rezim yang memiliki watak demikian cenderung korup dan jahat, karena sebagaimana Lord Acton, “power tends corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasan itu cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup.
Watak rezim yang demikian juga cenderung mengadopsi motto raja Prancis, Louis XIV, “L’etat, c’est moi” negara adalah saya.
Merurut Hannah Arendt, personifikasi kekuasaan yang demikian sudah pasti berbahaya karena segala sesuatu dilegitimasi dan dibenarkan.
Sejarah Indonesia di bawah rezim Soeharto selama 32 tahun membenarkan ungkapan Lord Acton dan Arendt tersebut bahwa personifikasi dan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan Soeharto telah melahirkan sejumlah bencana atau krisis, baik ekonomi, politik, sosial, ekologi, moral dan kemanusiaan.
Dalam bidang ekonomi, kita ketahui, terjadi krisis di mana nilai tukar rupiah melemah sementara utang luar negeri meningkat secara eksponensial.
Kemudian dalam bidang politik, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme meraja lela dan bahkan membudaya.
| Opini: Revitalisasi Tapa Kolo dan Tradisi Wae Rasan |
|
|---|
| Opini: Menagih Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah |
|
|---|
| Opini: Bedah Indeks Konstruksi, NTT Terendah di Indonesia |
|
|---|
| Opini: Hidup yang Otentik di Era Digital |
|
|---|
| Opini - Belajar dari Alam: Menemukan Makna Pembelajaran Kontekstual di Kupang |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Yantho-Bambang.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.