Opini

Opini: Suara dari Lasiana, Ketika Birokrasi Lupa Mendengar

Lasiana hari ini bukan hanya kisah tentang tarif dan karcis, tetapi tentang jarak yang makin lebar antara pemerintah dan warganya. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI TRY SURIANI L TUALAKA
Try Suriani Loit Tualaka 

Dalam kerangka hukum tersebut, pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan jenis, objek, dan tarif retribusi melalui Perda, sebagaimana diatur dalam Pasal 94 yang menjadikannya dasar pemungutan resmi. 

Secara normatif, kerangka ini memberi ruang adaptasi agar tarif dapat disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah.

Namun realitas di Pantai Lasiana justru menunjukkan bahwa kewenangan tersebut diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan konteks sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sebagian besar adalah pelaku UMKM dan mama-mama pedagang kecil. 

Persoalan utama bukan terletak pada regulasinya, melainkan pada cara kebijakan ini diterjemahkan seolah keberhasilan fiskal diukur dari besarnya retribusi yang dipungut. 

Ketika implementasi lebih menekankan penambahan pendapatan daripada keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal, kebijakan yang seharusnya mendukung perputaran ekonomi rakyat berubah menjadi beban baru. 

Pada titik ini, gap antara birokrasi yang menghitung pemasukan dan warga yang justru mengalami kerugian semakin terasa nyata.

Nestapa Mama-Mama Lasiana

Kisah para mama-mama pedagang di Pantai Lasiana menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan publik kerap bukan berasal dari aturan yang keliru, melainkan dari cara negara menerjemahkan dan menerapkan aturan tersebut dalam kehidupan warganya. 

Di bawah terik matahari dan hembusan angin laut, mereka tetap bertahan di lapak-lapak kecil yang kini semakin sepi. 

Pendapatan harian yang hanya puluhan ribu rupiah tidak lagi mampu menutup biaya bahan baku, sewa kios, maupun kebutuhan rumah tangga.

Di tengah kondisi itu, beban retribusi dan pungutan tetap diberlakukan tanpa mempertimbangkan penurunan omzet yang mereka alami. 

Bagi para pedagang kecil, kebijakan tarif baru bukan sekadar penetapan angka, tetapi penentu keberlanjutan usaha dan kehidupan keluarga. 

Ruang wisata yang dulu menjadi tumpuan perputaran ekonomi rakyat kini berubah menjadi tempat yang sunyi, meninggalkan rasa kecewa terhadap pemerintah yang seharusnya hadir melindungi dan memulihkan, bukan sekadar menyaksikan dari jauh.

Fenomena ini menyingkap sisi lain dari krisis pelayanan publik di tingkat daerah, birokrasi yang kaku, tertutup, dan lamban merespons kebutuhan warganya. 

Dalam perspektif administrasi publik, pemerintah daerah memikul fungsi ganda: mengatur dan melayani. Keduanya seharusnya berjalan beriringan. 

Prinsip responsivitas dan akuntabilitas menuntut agar setiap kebijakan lahir melalui dialog dengan masyarakat serta disesuaikan dengan daya dukung yang tersedia, mulai dari kapasitas kelembagaan, kondisi lapangan, kesiapan sistem, hingga kemampuan warga sebagai penerima layanan.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved