Opini
Opini: Suara dari Lasiana, Ketika Birokrasi Lupa Mendengar
Lasiana hari ini bukan hanya kisah tentang tarif dan karcis, tetapi tentang jarak yang makin lebar antara pemerintah dan warganya.
Namun dalam kasus Lasiana, kebijakan retribusi justru diterapkan secara top-down, tanpa konsultasi publik dan tanpa kajian dampak yang memadai.
Ketika efek negatif mulai terlihat pengunjung menurun, pendapatan pedagang merosot, dan aktivitas ekonomi tersendat, birokrasi memilih bersikap abai.
Respons aparat yang menyepelehkan keluhan warga menunjukkan hilangnya etika pelayanan publik yang seharusnya berlandaskan empati dan menempatkan masyarakat sebagai pusat dari setiap keputusan.
Dalam kerangka good governance, situasi di Lasiana mencerminkan bentuk maladministrasi sosial: kegagalan aparatur negara menjembatani target fiskal dengan kesejahteraan rakyat.
Birokrasi terlalu fokus mengejar pendapatan daerah hingga mengabaikan kenyataan bahwa di balik setiap lembar tiket retribusi terdapat keluarga yang menggantungkan hidup pada pantai itu.
Lasiana akhirnya menjadi potret kecil dari problem besar tata kelola daerah, ketika keberhasilan kebijakan publik diukur semata dari capaian fiskal, bukan keberlanjutan sosial.
Pemerintah yang ideal seharusnya hadir untuk mendengar sebelum memutuskan, berdialog sebelum menetapkan, dan melayani sebelum menagih.
Tanpa prinsip-prinsip itu, bukan hanya Lasiana, tetapi banyak ruang hidup rakyat lainnya akan terus menjadi saksi tentang bagaimana kebijakan publik kehilangan sisi manusianya.
Persoalan Lasiana menunjukkan bahwa akar masalahnya bukan sekadar pada penetapan tarif, tetapi pada cara negara memaknai pembangunan itu sendiri.
Kebijakan retribusi yang diterapkan mencerminkan pandangan bahwa peningkatan pendapatan daerah lebih penting daripada memperkuat ekosistem layanan publik yang inklusif.
Ketika pembangunan direduksi menjadi urusan fiskal semata, ruang hidup warga berubah menjadi objek pemungutan, bukan wilayah pelayanan yang harus dirawat.
Lasiana pada akhirnya memperlihatkan kegagalan konseptual: negara keliru membaca mandatnya sebagai pengelola ruang sosial yang wajib melibatkan warga, menghitung kapasitas mereka, serta memastikan bahwa setiap kebijakan memperkuat bukan melemahkan kehidupan kelompok paling rentan.
Kebijakan publik yang lahir tanpa mendengar suara rakyat akan selalu kehilangan legitimasi sosial, betapapun lengkap dasar hukumnya.
Ketika Rakyat Dihimpit Dua Beban
“Sekarang pengunjung sudah jarang, kadang tidak sampai lima puluh orang sehari,” tutur salah satu mama pedagang di Pantai Lasiana. “Banyak yang sudah tutup karena modal besar tapi tidak ada pembeli.”
Sejak tarif karcis masuk dinaikkan menjadi Rp6.000 untuk orang dewasa dan Rp3.000 untuk anak-anak, wisatawan lokal mulai enggan datang.
Try Suriani Loit Tualaka
Pantai Lasiana
tarif retribusi daerah
kenaikan tarif
Dinas Pariwisata NTT
Opini Pos Kupang
Nusa Tenggara Timur
| Opini - Gotong Royong Tanpa APBN: Bukti Nyata Kasih Kristus dan Kemandirian Umat Merayakan Natal |
|
|---|
| Opini: Urgensi Redenominasi Rupiah Dalam Timbangan Etika Kemanfaatan |
|
|---|
| Opini: Harapan di Tengah Absurditas Politik |
|
|---|
| Opini: Revitalisasi Tapa Kolo dan Tradisi Wae Rasan |
|
|---|
| Opini: Menagih Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Try-Suriani-Loit-Tualaka3.jpg)