Opini

Opini: Revitalisasi Tapa Kolo dan Tradisi Wae Rasan 

Dalam perspektif antropologi budaya, Tapa Kolo berfungsi sebagai ritual of togetherness yang memperkuat hubungan sosial.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI PIETER KEMBO
Pieter Kembo 

Sebagai Penguatan Identitas Budaya dan Pengembangan Wisata Gastronomi di Manggarai Timur

Oleh: Pieter Kembo
Penerima Anugerah Kebudayaan NTT bidang Pencipta, Pelopor, dan Pembaharu. Tinggal di Kolhua, Kota Kupang.

POS-KUPANG.COM - Tapa Kolo atau Ghole Toke merupakan kuliner tradisional masyarakat Manggarai Timur di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur yang sarat nilai filosofis dan sosial. 

Bersama tradisi adat seperti Nareng, Bari Manuk, Danding, dan Melas (Caci), kuliner tersebut membentuk sistem budaya yang utuh pada masyarakat Wae Rasan

Artikel ini membahas relevansi pelestarian tradisi tersebut dalam konteks modern, sekaligus menyoroti potensinya sebagai modal pengembangan wisata gastronomi yang berkelanjutan. 

Baca juga: Budaya Persatukan Indonesia dan Negara di Pasifik, Jadi Poros Ketangguhan

Penegasan peran pemerintah dan lembaga kebudayaan menjadi penting untuk menciptakan model pemberdayaan yang menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama.

Pendahuluan

Kekayaan budaya lokal merupakan aset penting dalam proses pembangunan berkelanjutan, terutama dalam bidang pariwisata. 

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat Manggarai Timur memiliki ragam tradisi kuliner dan ritual yang telah diwariskan antargenerasi. 

Salah satu yang paling dikenal adalah Tapa Kolo—nasi bambu yang dimasak dalam ruas bambu muda. Kuliner ini bukan hanya produk konsumsi, tetapi simbol identitas kolektif dan ekspresi syukur masyarakat adat.

Dalam konteks global yang ditandai modernisasi cepat, tradisi kuliner dan ritual adat menghadapi tantangan serius. 

2. Tapa Kolo sebagai Ekspresi Identitas dan Kebersamaan

Tapa Kolo, yang di beberapa wilayah dikenal sebagai Ghole Toke atau Nasi Bambu, merupakan bagian integral dari struktur sosial masyarakat Manggarai Timur. Proses memasaknya bersifat komunal.

• Laki-laki bertanggung jawab pada persiapan bambu dan pembakaran.

• Perempuan menyiapkan lauk dan sayuran pendamping.

• Seluruh anggota komunitas hadir dalam momen makan bersama sebagai ekspresi syukur.

Aktivitas ini mengandung nilai gotong royong, kerendahan hati, solidaritas, dan kesatuan keluarga. 

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved