Opini

Opini: Suara dari Lasiana, Ketika Birokrasi Lupa Mendengar

Lasiana hari ini bukan hanya kisah tentang tarif dan karcis, tetapi tentang jarak yang makin lebar antara pemerintah dan warganya. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI TRY SURIANI L TUALAKA
Try Suriani Loit Tualaka 

Bagi warga Kota Kupang dan Pulau Timor yang pendapatannya terbatas, berwisata ke pantai yang dulu menjadi ruang publik tanpa biaya kini berubah menjadi beban baru. 

Ironisnya, kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan daerah justru memukul ekonomi kecil di sekitar pantai: lapak-lapak yang dulu ramai aroma jagung bakar kini kosong, sebagian bahkan rusak dan dibiarkan begitu saja menjadi saksi bisu dari kebijakan yang gagal membaca realitas sosial warganya.

Kekecewaan mama-mama pedagang tidak berhenti di situ. Ketika mereka mendatangi Dinas Pariwisata untuk mencari solusi, harapan mereka disambut dengan ucapan dingin: “Banyak berdoa saja supaya berkat datang.” 

Kalimat itu bukan hanya menunjukkan minimnya empati birokrasi, tetapi juga ketidakmampuan institusi publik memahami beban yang dipikul para pelaku ekonomi kecil. 

“Padahal dulu, di masa kepemimpinan sebelumnya, tarif karcis sempat digratiskan dan pengunjung sangat ramai,” ungkap salah satu mama pedagang. 

Kini, bukan hanya tarif masuk manusia yang meningkat, tetapi kios-kios pedagang pun tetap dikenai pungutan meski penghasilan mereka hampir tidak ada. 

Tak ada pelatihan, tak ada dukungan, hanya kewajiban membayar yang terus ditagih seolah hidup rakyat yang mereka wakili bukan bagian dari prioritas pemerintah.

Lebih tragis lagi, mama-mama pedagang merasa ditipu dalam proses penandatanganan kontrak lapak. 

Mereka dipanggil ke kantor dinas dengan alasan untuk membahas aspirasi mengenai penurunan tarif karcis. 

Namun tanpa penjelasan yang memadai, mereka justru diminta menandatangani dokumen yang ternyata merupakan surat perjanjian pembayaran lapak sebesar Rp100.000 per bulan. 

Tidak ada penjelasan mengenai isi kontrak, tidak ada transparansi, bahkan salinan dokumen pun tidak diberikan kepada para pedagang.

Hanya satu orang yang sempat membaca isi surat tersebut sebelum ikut menandatangani itu pun karena tekanan sosial dan janji manis dari pejabat. 

Kini, dokumen itu digunakan sebagai dasar untuk menagih kewajiban yang mustahil dipenuhi. 

“Kami datang berharap solusi, tapi pulang dengan beban baru. Sekarang saya tidak jualan lagi di lapak, karena percuma saya keluarkan modal besar tapi tidak ada pemasukan, sementara setiap bulan saya dituntut bayar Rp100.000,” ungkap seorang pedagang. 

Dari karcis yang mahal, fasilitas yang rusak, hingga praktik manipulatif dalam kontrak, Lasiana hari ini menjadi potret kecil tentang bagaimana birokrasi dapat kehilangan nurani dan mengabaikan prinsip pelayanan publik yang adil dan manusiawi. (*)

Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved