Opini
Opini: Suara dari Lasiana, Ketika Birokrasi Lupa Mendengar
Lasiana hari ini bukan hanya kisah tentang tarif dan karcis, tetapi tentang jarak yang makin lebar antara pemerintah dan warganya.
Bagi warga Kota Kupang dan Pulau Timor yang pendapatannya terbatas, berwisata ke pantai yang dulu menjadi ruang publik tanpa biaya kini berubah menjadi beban baru.
Ironisnya, kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan daerah justru memukul ekonomi kecil di sekitar pantai: lapak-lapak yang dulu ramai aroma jagung bakar kini kosong, sebagian bahkan rusak dan dibiarkan begitu saja menjadi saksi bisu dari kebijakan yang gagal membaca realitas sosial warganya.
Kekecewaan mama-mama pedagang tidak berhenti di situ. Ketika mereka mendatangi Dinas Pariwisata untuk mencari solusi, harapan mereka disambut dengan ucapan dingin: “Banyak berdoa saja supaya berkat datang.”
Kalimat itu bukan hanya menunjukkan minimnya empati birokrasi, tetapi juga ketidakmampuan institusi publik memahami beban yang dipikul para pelaku ekonomi kecil.
“Padahal dulu, di masa kepemimpinan sebelumnya, tarif karcis sempat digratiskan dan pengunjung sangat ramai,” ungkap salah satu mama pedagang.
Kini, bukan hanya tarif masuk manusia yang meningkat, tetapi kios-kios pedagang pun tetap dikenai pungutan meski penghasilan mereka hampir tidak ada.
Tak ada pelatihan, tak ada dukungan, hanya kewajiban membayar yang terus ditagih seolah hidup rakyat yang mereka wakili bukan bagian dari prioritas pemerintah.
Lebih tragis lagi, mama-mama pedagang merasa ditipu dalam proses penandatanganan kontrak lapak.
Mereka dipanggil ke kantor dinas dengan alasan untuk membahas aspirasi mengenai penurunan tarif karcis.
Namun tanpa penjelasan yang memadai, mereka justru diminta menandatangani dokumen yang ternyata merupakan surat perjanjian pembayaran lapak sebesar Rp100.000 per bulan.
Tidak ada penjelasan mengenai isi kontrak, tidak ada transparansi, bahkan salinan dokumen pun tidak diberikan kepada para pedagang.
Hanya satu orang yang sempat membaca isi surat tersebut sebelum ikut menandatangani itu pun karena tekanan sosial dan janji manis dari pejabat.
Kini, dokumen itu digunakan sebagai dasar untuk menagih kewajiban yang mustahil dipenuhi.
“Kami datang berharap solusi, tapi pulang dengan beban baru. Sekarang saya tidak jualan lagi di lapak, karena percuma saya keluarkan modal besar tapi tidak ada pemasukan, sementara setiap bulan saya dituntut bayar Rp100.000,” ungkap seorang pedagang.
Dari karcis yang mahal, fasilitas yang rusak, hingga praktik manipulatif dalam kontrak, Lasiana hari ini menjadi potret kecil tentang bagaimana birokrasi dapat kehilangan nurani dan mengabaikan prinsip pelayanan publik yang adil dan manusiawi. (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
Try Suriani Loit Tualaka
Pantai Lasiana
tarif retribusi daerah
kenaikan tarif
Dinas Pariwisata NTT
Opini Pos Kupang
Nusa Tenggara Timur
| Opini - Gotong Royong Tanpa APBN: Bukti Nyata Kasih Kristus dan Kemandirian Umat Merayakan Natal |
|
|---|
| Opini: Urgensi Redenominasi Rupiah Dalam Timbangan Etika Kemanfaatan |
|
|---|
| Opini: Harapan di Tengah Absurditas Politik |
|
|---|
| Opini: Revitalisasi Tapa Kolo dan Tradisi Wae Rasan |
|
|---|
| Opini: Menagih Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Try-Suriani-Loit-Tualaka3.jpg)