Opini

Opini: Menagih Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah

Keadilan fiskal yang seharusnya menjadi roh kebijakan nasional justru tergeser oleh logika ekonomi politik yang memberikan privilage

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ESTER THERESIA C TALLO
Ester Theresia Clarita Tallo 

Oleh: Ester Theresia Clarita Tallo
Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

POS-KUPANG.COM - Kebijakan fiskal nasional pada dasarnya bukan sekadar urusan teknis anggaran. 

Lebih dari itu merupakan representasi ideologi kebangsaan bahwa Indonesia harus tumbuh bersama, berbagi beban secara adil dan memastikan tidak ada daerah yang tertinggal hanya karena kekurangan sumber daya alam. 

Fiskal seyogyanya sebagai medium gotong royong, bukan sekadar instrumen pembagian dana. 

Hal ini menimbulkan luka yang bersifat administratif dan menyentuh akar keadilan sosial dalam NKRI.

Selama beberapa tahun terakhir wajah kebijakan fiskal Indonesia mencerminkan sebuah ironi. 

Baca juga: Opini: Paradoks Inersia Fiskal, Efisiensi TKD sebagai  Wajah Baru Resentralisasi

Alih-alih mempersempit ketimpangan antara daerah kaya dan miskin, kebijakan yang berlaku justru memperlebar jurang fiskal. 

Nusa Tenggara Timur menjadi contoh paling gamblang sebagai provinsi yang selama ini berjuang dengan keterbatasan PAD dan minimnya dana bagi hasil sumber daya alam, justru harus menerima kenyataan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima tidak lebih besar dari daerah kaya.

Data dari 22 kabupaten/kota di NTT jika dibandingkan dengan 28 daerah berkapasitas fiskal tinggi menunjukkan fakta mengejutkan karena besaran DAU hampir sama. 

Sebuah realitas yang bertolak belakang dengan filosofi DAU sebagai instrumen solidaritas nasional. 

Jika semangat pemerataan yang dipegang masih sama seharusnya daerah berkapasitas fiskal rendah mendapat porsi jauh lebih besar, karena kebutuhan pembiayaan pelayanan dasar jauh lebih besar dibanding kapasitas fiskal yang tersedia.

Lebih ironis lagi, daerah penghasil minyak, gas, dan mineral menerima limpahan Dana Bagi Hasil (DBH) yang sangat besar, tetapi tetap memperoleh alokasi DAU yang setara dengan daerah miskin fiskal. 

Situasi ini membuat ketimpangan dilegitimasi secara sistemik melalui regulasi yang berlaku. 

Ketika daerah dengan DBH melimpah dapat berinvestasi pada infrastruktur, layanan publik, dan pertumbuhan ekonomi, maka NTT harus bertahan dengan anggaran yang habis hanya untuk membayar belanja pegawai.

Perubahan mendasar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 semakin memperparah situasi. 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved