Mengelola dan memimpin seluruh kru divisi redaksi untuk mencapai tujuan bersama.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), isu perempuan dan stunting memperlihatkan jurang antara hak tekstual dan hidup sehari-hari.
Mengabaikan masalah yang dianggap tidak penting menurut hitungan pragmatis penguasa adalah sebuah kewajaran.
Tak tanggung-tanggung, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) berencana untuk membangun ratusan vila di pulau tersebut.
Artinya pemerintahan hadir untuk menjawab persoalan konkret masyarakat, bukan untuk memperbesar lingkar kuasa.
Sebuah lagu yang memadukan musik Timur dan Minang. Silet Open Up dan Diva Aurel menggetarkan Istana Merdeka.
Proyek yang awalnya diklaim sebagai ekowisata kini menjelma menjadi proyek eksklusif, berorientasi pada keuntungan semata.
Dan luka perjuangan Nakes kian perih ketika hak-hak finansial mereka terkatung-katung tanpa kepastian.
Keadaan tidak aktif mengandaikan keheningan. Ia dihasilkan oleh keheningan di mana manusia yang autentik diinkubasi.
Dengan berbagai inisiatif yang ada, NTT memiliki peluang besar untuk mengejar ketertinggalannya dalam sektor pendidikan.
Kita tidak lagi hanya menghadapi tantangan klasik seperti ketimpangan akses pendidikan, kurikulum yang usang, atau kualitas guru.
Adapun beberapa perlombaan yang diadakan yakni; lomba tarik tambang, lomba lari karung, lomba estafet air, lomba yel-yel kemerdekaan, dan baca puisi.
Internet kini menjadi frontier paling subur. Negara dan modal bekerja sama menjadikan ruang digital ladang akumulasi.
Oleh karena itu, kebijakan kedaulatan pangan menjadi esensi dari perjuangan merdeka di era modern.
Persoalan kemiskinan struktural ini yang memaksa sebagian masyarakat NTT memilih jalan pintas menjadi Pekerja Migran.
Nusantara tercengang, lihat pemimpin rakyat penuh kasih pada rakyatnya. Dirgahayu Indonesia. Jaya selalu.
Kalau disamakan dengan manusia, dengan usia 80 tahun, maka Negara Indonesia tergolong tua. Usia pensiun bahkan rapuh.
Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan meningkatnya politik identitas dan polarisasi sosial, terutama di media sosial.
Masih ada aparat yang diam saat rumah ibadah dirusak. Kita terlalu sering bicara, tapi terlalu jarang bertindak.
Korban (bersama keluarga) memilih diam menanggung luka batin sehingga harus dibungkus rapi demi menghindar dari diskursus publik.
Lebih dari itu, angka 80 juga mengingatkan pada perjalanan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mengukir sejarahnya sendiri.