Breaking News

Opini

Opini: NTT dan Ironi Keadilan, Hukum yang tak Lagi Memanusiakan

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: di manakah hukum ketika manusia diperdagangkan seperti barang? 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI FLADIMIR SIE
Fladimir Sie 

Oleh: Fladimir Sie
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menjadi sorotan nasional. 

Bukan karena pesona pantainya, melainkan karena luka kemanusiaan yang terus menganga: perdagangan manusia dan eksploitasi pekerja migran. 

Ratusan warga, kebanyakan perempuan muda dari pelosok desa, setiap tahun berangkat dengan harapan sederhana — mencari penghidupan yang lebih layak. 

Namun di balik janji pekerjaan itu, tersembunyi jerat penipuan, perbudakan, bahkan kematian.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: di manakah hukum ketika manusia diperdagangkan seperti barang? 

Baca juga: Opini: Mengobati Luka Menata Harapan, Perdagangan Orang dalam Geliat Pembangunan NTT

Apakah hukum kita masih memiliki wajah kemanusiaan, atau telah berubah menjadi mekanisme formal yang kehilangan roh keadilan? 

Di sinilah filsafat hukum menjadi cermin reflektif untuk menakar sejauh mana hukum mampu berpihak pada martabat manusia.

Bagi Aristoteles, tujuan hukum adalah untuk menegakkan keadilan - to give each his due, memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. 

Namun dalam kenyataan NTT, hukum kerap berhenti di meja administrasi: pelaku lapangan ditangkap, tetapi jaringan perekrutan tetap berjalan. 

Proses hukum berjalan lambat, sementara korban dibiarkan memulihkan luka sendiri.

Di titik inilah tampak paradoks antara norma dan realitas. Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman, menegaskan bahwa hukum sejati harus menyeimbangkan tiga nilai: kepastian (Rechtssicherheit), keadilan (Gerechtigkeit), dan kemanfaatan (Zweckmäßigkeit). 

Jika hukum formal bertentangan dengan keadilan, maka hukum itu kehilangan moralitasnya.

Sayangnya, di NTT hukum sering lebih sibuk menegakkan kepastian prosedural ketimbang memperjuangkan keadilan substantif. 

Ia menjadi “hukum kertas”, tidak menyentuh penderitaan nyata masyarakat.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved