Opini
Opini: Kita Butuh Polisi yang Tidak Gagap Hukum
Gagasan ini bukan sekadar wacana elitis yang menjauhkan institusi kepolisian dari rakyat, melainkan respons terhadap realitas pahit.
Oleh: Aziz Ramba Wudi
Alumnus Fakultas Filsafat-Unwira Kupang,Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Dalam salah satu sidang Komisi III DPR RI pada 26 Mei 2025, Hinca Panjaitan melontarkan kalimat yang menohok "Hukum itu ilmu, bukan naluri."
Pernyataan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat tersebut menyasar tepat pada salah satu kelemahan mendasar institusi kepolisian Indonesia yakni minimnya pemahaman teoritis dan akademis dalam menjalankan fungsi penegakan hukum.
Usulannya sederhana namun radikal. Syarat minimal menjadi polisi haruslah lulusan sarjana (S1), khususnya dari bidang hukum, sosiologi, psikologi, dan kriminologi.
Usulan ini disampaikan dalam rapat bersama Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, dengan argumen bahwa polisi yang mengemban tugas penegakan hukum harus memahami ilmu hukum, psikologi, kriminologi dan sosiologi.
Baca juga: Harumkan Nama Polri, Kapolres Alor Raih Penghargaan Inspiring Profesional and Leadership Award 2025
Gagasan ini bukan sekadar wacana elitis yang menjauhkan institusi kepolisian dari rakyat, melainkan respons terhadap realitas pahit.
Sejumlah kasus telah mencoreng nama baik Polri dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari kekerasan berlebihan saat mengamankan aksi demonstrasi, pemerasan, suap, hingga keterlibatan dalam jaringan narkoba.
Problem struktural yang dihadapi POLRI saat ini berakar pada sistem rekrutmen dan pendidikan yang terlampau singkat.
Penerimaan anggota polisi jalur Sekolah Polisi Negara (SPN) Bintara dan Tamtama berlangsung dengan pendidikan kilat, masing-masing 7 bulan dan 5 bulan.
Dalam rentang waktu itu, calon polisi diharapkan menguasai tidak hanya keterampilan fisik dan prosedur operasional, tetapi juga memahami kompleksitas hukum, dinamika sosial, dan psikologi manusia.
Hasilnya bisa ditebak. Aparat yang turun ke lapangan kerap kali hanya bersenjatakan prosedur baku tanpa kemampuan membaca konteks, berempati pada korban, atau memahami implikasi hukum dari tindakannya.
Membandingkan profesi polisi dengan profesi lain yang juga bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak kiranya relevan.
Seorang dokter tak mungkin diizinkan mempraktikkan ilmunya tanpa menempuh pendidikan medis bertahun-tahun.
Seorang pengacara tak akan pernah diperkenankan beracara di pengadilan tanpa gelar sarjana hukum dan lulus uji advokat.
Mengapa polisi, yang keputusannya bisa merampas kemerdekaan seseorang, bahkan dalam kondisi tertentu bisa mengambil nyawa, justru cukup dibekali pelatihan beberapa bulan?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.