Opini

Opini: Menjaga Bahasa dalam Lanskap Digital

Ketika bahasa dicampur tanpa kendali atau diganti secara paksa, yang hilang bukan sekadar kata, tetapi juga makna dan identitas.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Yoseph Yoneta Motong Wuwur 

Pemerintah, pengembang teknologi, dan pengguna harus mendorong hadirnya konten multibahasa, mesin penerjemah kontekstual, dan pelibatan komunitas bahasa minoritas secara aktif.

Kunci Melawan Hoaks dan Polarisasi

Kemampuan membaca saja tidak cukup. Literasi bahasa yang utuh menuntut kemampuan memahami makna, membedakan opini dan fakta, serta mengidentifikasi bias dan manipulasi dalam teks. Ini adalah bekal penting dalam menghadapi derasnya informasi digital.

Tanpa literasi yang baik, masyarakat mudah menjadi korban misinformasi. Hoaks politik, teori konspirasi, hingga narasi ekstremisme sering dikemas dalam bahasa yang meyakinkan.

Tanpa nalar kritis, bahasa bisa menjadi alat penyesatan massal.
Bahasa yang digunakan dalam media sosial sering kali bersifat emotif dan provokatif.

Penggunaan istilah yang kabur atau berlebihan dapat menciptakan polarisasi tajam dalam masyarakat. Di sinilah pentingnya pendidikan bahasa yang kritis dan kontekstual.

Sekolah dan media harus menjadi garda depan dalam meningkatkan literasi bahasa. 

Materi pelajaran harus diarahkan tidak hanya pada gramatika, tetapi juga pada kemampuan analisis wacana, argumentasi logis, dan kepekaan terhadap etika berbahasa.

Kolaboratif dan Berkeadilan

Masa depan bahasa tidak akan ditentukan oleh satu pihak, melainkan oleh kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dunia pendidikan, dan teknologi. 

Semua bahasa layak hidup, berkembang, dan mendapat perlakuan adil dalam ekosistem digital dan sosial.

Kebijakan bahasa nasional harus bersifat inklusif, berpihak pada keberagaman, dan menjamin hak setiap warga negara untuk belajar dan menggunakan bahasa mereka. 

Bahasa daerah tidak boleh hanya dijadikan simbol budaya, tapi juga alat partisipasi nyata.

Di sisi lain, masyarakat harus aktif menciptakan ruang-ruang kebahasaan yang hidup: komunitas literasi, media lokal, konten kreatif, dan pendidikan keluarga. 

Semua ini adalah investasi jangka panjang untuk peradaban yang beradab secara linguistik.

Ketika bahasa dipelihara dengan etika, dihormati dengan hak, dan didukung oleh teknologi, maka bahasa bukan hanya alat ekspresi, tapi juga jembatan menuju dunia yang lebih adil, manusiawi, dan bersatu dalam keberagaman. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved