Opini

Opini: Menjaga Bahasa dalam Lanskap Digital

Ketika bahasa dicampur tanpa kendali atau diganti secara paksa, yang hilang bukan sekadar kata, tetapi juga makna dan identitas.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Yoseph Yoneta Motong Wuwur 

Oleh: Yoseph Yoneta Motong Wuwur
Warga Lembata, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Bahasa merupakan cermin utuh kebudayaan dan cara berpikir suatu masyarakat. 

Melalui bahasa, manusia membangun narasi kolektif tentang identitas, dan cara pandang mereka terhadap dunia. Ia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga pembentuk jati diri dan
penanda eksistensi budaya.

Seiring perkembangan zaman, bahasa terus bertransformasi. Namun, tidak semua perubahan membawa kebaikan. 

Ketika bahasa dicampur tanpa kendali atau diganti secara paksa, yang hilang bukan sekadar kata, tetapi juga makna dan identitas.

Menjaga Lisan, Menjaga Nalar

Dalam interaksi sosial, bahasa memiliki kekuatan yang besar. Ia dapat membangun jembatan empati, tetapi juga bisa menjadi alat kekerasan simbolik jika tidak dikendalikan oleh etika.

Etika berbahasa adalah pagar moral dalam kebebasan berekspresi.
Di ruang digital, kebebasan berbicara sering disalahartikan sebagai kebebasan melukai.

Komentar kasar, sarkasme yang merendahkan, hingga ujaran kebencian menjadi fenomena sehari-hari. Padahal, di balik layar ada manusia yang bisa terluka oleh kata-kata.

Etika dalam berbahasa menuntut kita untuk bijak memilih kata dan memahami konteks lawan bicara. 

Kritik boleh tajam, namun harus dibungkus dengan kejelasan argumen dan niat membangun, bukan merusak. Bahasa yang beretika memuliakan akal dan hati.

Literasi etis harus menjadi bagian dari pendidikan formal dan informal. Anak-anak perlu diajarkan bahwa setiap kata memiliki konsekuensi. 

Dalam dunia yang saling terhubung, menjaga lisan adalah menjaga keutuhan dialog sosial.

Suara Setiap Orang Berharga

Hak linguistik adalah bagian dari hak asasi manusia yang sering terlupakan. 

Setiap individu berhak untuk berkomunikasi, belajar, dan berpartisipasi dalam masyarakat menggunakan bahasa yang ia pahami. Ini adalah prasyarat keadilan dan inklusi sosial.

Di banyak tempat, bahasa ibu justru dianggap penghalang kemajuan. Sekolah-sekolah lebih memprioritaskan bahasa nasional atau internasional, sehingga anak-anak dari komunitas minoritas merasa terpinggirkan dan kehilangan koneksi dengan budayanya sendiri.

Pelayanan publik yang hanya tersedia dalam satu bahasa turut menciptakan ketimpangan.

Ketika seseorang tidak bisa mengakses informasi kesehatan, hukum, atau pendidikan karena kendala bahasa, maka hak dasarnya pun ikut terabaikan.

Pemerintah dan lembaga harus mengakui bahwa keragaman bahasa adalah kekayaan, bukan beban. 

Hak linguistik harus dijamin dalam kebijakan, disuarakan dalam advokasi, dan diterapkan dalam praktik keseharian.

Warisan Tak Tergantikan

Bahasa ibu adalah suara pertama yang kita dengar, dan bahasa yang membentuk kesadaran awal kita tentang dunia. 

Ia adalah pintu masuk ke dalam nilai-nilai keluarga, tradisi, dan identitas lokal. Sayangnya, banyak bahasa ibu kini terancam punah.

Ketika bahasa ibu ditinggalkan, tidak hanya kosakata yang hilang, tetapi juga cara berpikir dan cara hidup yang diwariskan turun-temurun. 

Bahasa bukan hanya kata, tapi juga cara kita mengungkapkan kasih, marah, atau sedih secara khas dan bermakna.

Dalam keluarga urban, banyak orang tua memilih tidak mengajarkan bahasa ibu kepada anak karena dianggap tidak “berguna” secara ekonomi. 

Padahal, kemampuan berbahasa ganda justru memperkaya daya kognitif dan sosial anak.

Revitalisasi bahasa ibu harus dilakukan dengan kesadaran kolektif. Ajarkan anak-anak kita bahasa leluhurnya, gunakan dalam percakapan sehari-hari, dan bangun narasi bahwa Bahasa ibu adalah kebanggaan, bukan beban.

Bahasa dan Keadaban Digital

Transformasi digital membawa serta perubahan besar dalam cara kita berkomunikasi. 

Kecepatan, singkatnya format, dan keterbukaan membuat bahasa dalam dunia maya menjadi lebih cair—tetapi juga lebih rentan terhadap penyimpangan etika dan makna.

Bahasa yang tidak dijaga dalam ruang digital dapat menjadi alat kekerasan baru. 

Fenomena cancel culture, doxing, hingga penyebaran hoaks membuktikan bahwa kata-kata bisa lebih tajam dari senjata. Dunia maya memerlukan kesadaran linguistik yang tinggi.

Kebiasaan berbicara dengan nada sarkastik atau sinis dianggap sebagai norma baru. 

Padahal, komunikasi yang etis dan konstruktif jauh lebih dibutuhkan di tengah kebisingan informasi.

Kata-kata harus kembali menjadi alat penyambung, bukan pemecah.
Platform digital, pendidikan, dan media massa harus bersinergi dalam membentuk budaya komunikasi yang beradab. 

Edukasi tentang penggunaan bahasa yang tepat, santun, dan bertanggung jawab perlu dijadikan pilar utama literasi digital.

Merawat Keragaman di Ruang Siber

Ekologi bahasa menekankan pentingnya keseimbangan antara berbagai bahasa dalam satu ekosistem sosial. 

Dalam konteks digital, ekologi bahasa menghadapi tantangan besar: homogenisasi dan dominasi bahasa-bahasa global yang menggerus lokalitas.

Internet, sebagai ruang interaksi utama masa kini, didominasi oleh bahasa Inggris dan beberapa bahasa besar lainnya. 

Ini menyebabkan bahasa-bahasa kecil sulit bertahan, bahkan sulit ditemukan secara daring karena minimnya dukungan platform.

Ketiadaan konten digital dalam bahasa lokal menghambat partisipasi warga dari komunitas linguistik kecil. Mereka tidak hanya terasing secara budaya, tetapi juga secara teknologi.

Ketidaksetaraan linguistik berpotensi memperlebar jurang digital.
Membangun ekologi digital yang adil membutuhkan komitmen semua pihak. 

Pemerintah, pengembang teknologi, dan pengguna harus mendorong hadirnya konten multibahasa, mesin penerjemah kontekstual, dan pelibatan komunitas bahasa minoritas secara aktif.

Kunci Melawan Hoaks dan Polarisasi

Kemampuan membaca saja tidak cukup. Literasi bahasa yang utuh menuntut kemampuan memahami makna, membedakan opini dan fakta, serta mengidentifikasi bias dan manipulasi dalam teks. Ini adalah bekal penting dalam menghadapi derasnya informasi digital.

Tanpa literasi yang baik, masyarakat mudah menjadi korban misinformasi. Hoaks politik, teori konspirasi, hingga narasi ekstremisme sering dikemas dalam bahasa yang meyakinkan.

Tanpa nalar kritis, bahasa bisa menjadi alat penyesatan massal.
Bahasa yang digunakan dalam media sosial sering kali bersifat emotif dan provokatif.

Penggunaan istilah yang kabur atau berlebihan dapat menciptakan polarisasi tajam dalam masyarakat. Di sinilah pentingnya pendidikan bahasa yang kritis dan kontekstual.

Sekolah dan media harus menjadi garda depan dalam meningkatkan literasi bahasa. 

Materi pelajaran harus diarahkan tidak hanya pada gramatika, tetapi juga pada kemampuan analisis wacana, argumentasi logis, dan kepekaan terhadap etika berbahasa.

Kolaboratif dan Berkeadilan

Masa depan bahasa tidak akan ditentukan oleh satu pihak, melainkan oleh kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dunia pendidikan, dan teknologi. 

Semua bahasa layak hidup, berkembang, dan mendapat perlakuan adil dalam ekosistem digital dan sosial.

Kebijakan bahasa nasional harus bersifat inklusif, berpihak pada keberagaman, dan menjamin hak setiap warga negara untuk belajar dan menggunakan bahasa mereka. 

Bahasa daerah tidak boleh hanya dijadikan simbol budaya, tapi juga alat partisipasi nyata.

Di sisi lain, masyarakat harus aktif menciptakan ruang-ruang kebahasaan yang hidup: komunitas literasi, media lokal, konten kreatif, dan pendidikan keluarga. 

Semua ini adalah investasi jangka panjang untuk peradaban yang beradab secara linguistik.

Ketika bahasa dipelihara dengan etika, dihormati dengan hak, dan didukung oleh teknologi, maka bahasa bukan hanya alat ekspresi, tapi juga jembatan menuju dunia yang lebih adil, manusiawi, dan bersatu dalam keberagaman. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved