Breaking News

Opini

Opini: Mau Tidak Mau Jadi PNS, Refleksi atas Ketergantungan Fiskal dan Struktural di NTT

Dalam struktur PDRB NTT, sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial ternyata menempati posisi yang sangat strategis. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-BUATAN AI
ILUSTRASI 

Kemandirian Fiskal yang Masih Ilusi

Untuk memahami mengapa sektor Administrasi Pemerintahan terlihat dominan dalam struktur PDRB NTT, penting untuk menilik bagaimana kontribusi sektor ini sebenarnya dihitung. 

Meski tidak menghasilkan barang dagangan, sektor ini memproduksi jasa publik seperti pendidikan, kesehatan, dan administrasi yang dikonsumsi masyarakat dan masuk dalam output ekonomi daerah. 

Nilai tambahnya umumnya dihitung dengan pendekatan nilai belanja pemerintah, terutama belanja pegawai (gaji dan tunjangan ASN) dan belanja barang dan Jasa (operasional). 

Dengan kata lain, semakin besar belanja pemerintah, khususnya untuk belanja pegawai dan operasional, semakin besar pula kontribusi sektor ini dalam PDRB.

Sayangnya, struktur belanja tersebut justru menunjukkan ketimpangan. Realisasi belanja pegawai seperti gaji dan tunjangan ASN mencapai 39,77 persen dari total belanja daerah, jauh melampaui belanja barang dan jasa yang hanya 24,38 persen, apalagi belanja modal yang hanya 12,96 persen (DJPK Kementerian Keuangan, 2024). 

Artinya, sebagian besar anggaran masih terserap untuk konsumsi birokrasi, bukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 

Ketika roda ekonomi digerakkan oleh belanja rutin pemerintah, ruang gerak sektor swasta semakin sempit. 

UMKM dan wirausaha lokal sulit tumbuh karena pasar tidak cukup dinamis, sementara kreativitas dan inovasi terhambat akibat minimnya sistem pendukung yang memadai.  

Orientasi belanja yang demikian juga berdampak pada kapasitas fiskal daerah. 

Karena lebih banyak anggaran digunakan untuk belanja rutin (belanja pegawai) ketimbang membangun basis ekonomi produktif, kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan sendiri pun menjadi terbatas. 

Hal ini tercermin dari rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang pada tahun 2024 hanya menyumbang 11,41 persen dari total pendapatan daerah. 

Sementara itu, lebih dari 85,90 persen masih bergantung pada transfer dari pemerintah pusat. 

Ketimpangan ini menandakan bahwa aktivitas ekonomi yang menjadi sumber penerimaan daerah belum berkembang signifikan, sehingga siklus ketergantungan fiskal terus berulang dan kemandirian fiskal pun masih jauh dari harapan.

ASN di Persimpangan: Pasif atau Progresif?

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved