Opini
Opini: Manajemen Risiko sebagai Fondasi Kampus Berdampak di Nusa Tenggara Timur
Tanpa manajemen risiko yang sistematis, kampus akan selalu berada dalam posisi rentan: terhadap krisis keuangan
Oleh: Dr. Deford Nasareno Lakapu, MM, CRA, CRP, CMSM
Ahli Pengembangan Sistem Manajemen Risiko
POS-KUPANG.COM - Perguruan Tinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT) kini berdiri di persimpangan penting dalam perjalanan transformasinya.
Di satu sisi, pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek) terus menggulirkan agenda besar untuk mencetak kampus berdampak yakni perguruan tinggi yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar dan meneliti, tetapi juga hadir sebagai motor penggerak perubahan sosial, pusat inovasi, dan lokomotif pembangunan di daerahnya.
Di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan bahwa upaya tersebut dihadapkan pada tantangan mendasar yang belum terpecahkan: rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi, keterbatasan infrastruktur dan belum meratanya kualitas tata kelola perguruan tinggi, terutama dalam aspek pengelolaan risiko yang komprehensif.
Berdasarkan data terbaru, partisipasi pendidikan tinggi di NTT masih berada di angka 5,95 persen dari total penduduk.
Baca juga: Opini: Tragedi 28 Agustus dan Tanggung Jawab Pemimpin
Dari persentase tersebut, lulusan sarjana (S1) mendominasi dengan 4,21 persen, sementara diploma hanya 1,1 persen, dan lulusan pascasarjana sangat rendah, yakni 0,18 persen.
Padahal, secara kelembagaan, NTT memiliki 80 perguruan tinggi yang terdiri dari 4 perguruan tinggi negeri (PTN), 57 perguruan tinggi swasta (PTS), 3 perguruan tinggi kedinasan, dan 16 perguruan tinggi agama. Jika dilihat lebih jauh, di perguruan tinggi swasta sendiri, 98,49 persen telah terakreditasi, dan dari 324 program studi yang ada, 95,35 persen sudah memenuhi standar akreditasi nasional.
Selain itu data Kemdiktisaintek tahun 2025 menunjukan rasio dosen bergelar doktor secara nasional baru mencapai 25 persen.
Di NTT, persentasenya diperkirakan hanya sekitar 12 persen jauh tertinggal dibandingkan Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta yang mendominasi kontribusi nasional.
Pada tahun 2024, Jawa Barat menyumbang 15.341 lulusan S3 atau sekitar 22,17 persen dari total lulusan doktor nasional, diikuti Jawa Timur dan DKI Jakarta. Kontribusi NTT masih sangat kecil dan belum signifikan dalam peta akademik Indonesia.
Ketimpangan ini berdampak langsung pada kualitas riset, jejaring kolaborasi, dan bahkan kemampuan perguruan tinggi untuk mengelola risiko yang semakin kompleks.
Kesenjangan juga tampak dalam kesiapan digital. Data East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2024 mencatat DKI Jakarta memimpin nasional dengan skor 78,2, sementara Gorontalo melonjak tajam ke skor 38,1.
NTT masih berada jauh di bawah standar nasional, mencerminkan lemahnya infrastruktur teknologi dan adopsi digital di sektor pendidikan tinggi.
Padahal, digitalisasi adalah salah satu pilar utama dalam mitigasi risiko modern mulai dari analisis data keuangan, prediksi penerimaan mahasiswa, hingga tata kelola sumber daya manusia.
Nusa Tenggara Timur ( NTT )
Deford Nasareno Lakapu
Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Kebudayaan
Perguruan Tinggi Negeri
Perguruan Tinggi Swasta (PTS)
POS-KUPANG.COM
Kunci Jawaban Soal UTS Pelajaran TIK Kelas 11 SMA/MA Essay Semester Ganjil 2025 |
![]() |
---|
Kadis Kesehatan Sumba Tengah Imbau Masyarakat Bawa Anak ke Posyandu untuk Imunisasi Campak |
![]() |
---|
Kunci Jawaban Soal UTS Pelajaran TIK Kelas 11 SMA/MA Pilihan Ganda Semester Ganjil 2025 |
![]() |
---|
Dinas Kesehatan NTT Rilis Data Imunisasi Measles-Rubella Hingga Juli 2025 |
![]() |
---|
Mau Pinjam Rp 50 Juta Lewat KUR BRI? Begini Tata Cara Lengkap dengan Daftar Cicilan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.