Opini
Opini: AI, Agama dan Ego Digital, Membaca Polarisasi Moral Lewat Lensa Jonathan Haidt
Salah satu dari sekian banyak fenomena adalah maraknya foto maupun video berbasis AI, yang memadukan manipulasi suara dan visual dengan tujuan
Tanpa itu, pengguna internet mudah rentan menjadi produsen dan konsumen konten bermasalah seperti hoaks dan penistaan agama yang bermuara pada perpecahan.
Penelitian Terttiaavini dan Tedy Saputra (2022) menunjukkan bahwa pelajar dapat diajak memahami etika digital lewat pelatihan kreatif seperti membuat konten literasi melalui Tik-Tok dan Canva.
Namun, pemahaman ini masih terbatas. Padahal, tanpa etika digital, alat secanggih apa pun bisa berubah menjadi senjata yang melukai nilai dan identitas orang lain.
Fenomena ini menunjukkan bahwa generasi muda bukan hanya perlu melek digital, tapi juga berhati digital.
Mereka harus belajar memilah informasi seperti seorang editor berita dan bertindak di ruang digital dengan kesadaran hukum dan moral.
Literasi digital tanpa etika hanyalah alat tanpa kompas. Maka, pelajar masa kini harus diarahkan menjadi agen perubahan bukan hanya follower tren, tetapi pencipta narasi baru yang cerdas, beradab, dan kritis.
Dengan membangun kesadaran ini, kita bisa melahirkan generasi yang tak hanya terkoneksi, tapi juga terarah dalam ruang digital yang luas dan liar.
Membaca Fenomena AI Melalui Lensa Jonathan Haidt
Konflik digital bernuansa keagamaan, seperti kasus viralnya meme berbasis kecerdasan buatan (AI) yang menampilkan narasi dan visualisasi tokoh-tokoh agama secara manipulatif, menunjukkan bahwa literasi digital di Indonesia masih belum menyentuh akar terdalam dari persoalan.
Dalam salah satu kasus, AI digunakan untuk menciptakan meme video yang menarasikan penistaan terhadap agama tertentu, yang kemudian menyebar luas di media sosial dan memantik kemarahan publik.
Permasalahan ini bukan sekadar soal teknis atau etika penggunaan media, melainkan berakar pada benturan nilai moral dan keyakinan yang dihidupi oleh masing-masing agama.
Ketika pengguna media sosial menilai konten hanya dari sudut pandang moral kelompoknya sendiri, tanpa ruang bagi pemahaman terhadap nilai kelompok lain, maka konflik menjadi tak terelakkan.
Pemikiran Jonathan Haidt dalam psikologi moral memberikan kerangka konseptual
yang sangat relevan untuk memahami fenomena semacam ini.
Haidt menjelaskan bahwa moralitas manusia lebih banyak digerakkan oleh intuisi emosional dibandingkan nalar rasional.
Nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini membentuk “komunitas moral” yang memperkuat identitas kelompok dan membenarkan berbagai tindakan untuk melindungi nilai tersebut, termasuk tindakan yang menyudutkan atau bahkan menyakiti kelompok lain.
Ini menjelaskan mengapa meme AI yang dianggap "hiburan" oleh satu kelompok bisa dipersepsikan sebagai penghinaan oleh kelompok lainnya, karena masing-masing beroperasi dalam lanskap moral yang berbeda dan cenderung absolut.
Pendekatan Haidt menunjukkan bahwa peningkatan literasi tidak cukup hanya berupa pelatihan teknis atau himbauan etis.
Literasi digital harus dikembangkan menjadi literasi etika berbasis empati dan dialog lintas nilai.
Pemerintah dan institusi seperti KOMINFO dapat mengambil inspirasi dari pendekatan ini untuk merancang program literasi yang tidak hanya menekankan kepatuhan hukum, tetapi juga mengasah sensitivitas moral dan kemampuan memahami keberagaman nilai di ruang digital.
Salah satu bentuknya adalah menciptakan platform interaktif untuk diskusi antarumat beragama secara daring yang edukatif dan bebas konflik.
Tentu saja penerapan konsep ini tidak mudah. Masyarakat Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh sikap eksklusif atau terkungkung dakam kebenarannya sendiri, dan ruang digital sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperbesar jurang perbedaan.
Namun, meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya literasi digital dan etika AI memberi harapan bahwa pendekatan berbasis nilai ini bisa ditanamkan secara bertahap.
Haidt tidak mengajak menyamakan semua nilai, tetapi mendorong keseimbangan dan dialog.
Ini adalah fondasi penting untuk membangun dunia digital yang inklusif, bijak, dan tetap menghargai keragaman keyakinan di tengah derasnya gelombang teknologi.
Kesimpulan
Sekarang kita dihadapkan pada pilihan: menjadi pengguna pasif yang larut dalam sensasi teknologi, atau menjadi warga digital yang bijak dan beretika.
Foto atau video meme AI yang bernuansa keagamaan merupakan cerminan rapuhnya kesadaran moral kita dalam bermedia.
Jonathan Haidt mengingatkan bahwa moralitas bukan dibangun dari logika semata, tapi dari intuisi dan nilai yang terpatri sejak dini.
Apabila ruang digital terus dibiarkan sebagai medan pertempuran ego dan kepercayaan tanpa empati yang lahir bukanlah kemajuan, melainkan polarisasi yang kian mencengkram kedamaian kita.
Saya mengajak anak muda atau siapa pun yang membaca tulisan ini untuk tidak mudah percaya terhadap informasi. Sudah saatnya kita memahami perbedaan sebagai kekayaan.
Teknologi boleh berkembang, tetapi nilai-nilai kemanusiaan harus tetap diutamakan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Berno Jani
Mahasiswa IFTK Ledalero
Opini Pos Kupang
POS-KUPANG. COM
Jonathan Haidt
kecerdasan buatan
Donald Trump
Opini: Amnesti, Abolisi untuk Hasto dan Lembong, Runtuhnya Sebuah Hegemoni? |
![]() |
---|
Opini: Pesan Terkuat Rekonsiliasi dan Restorasi Reputasi Melalui Kongres Persatuan PWI |
![]() |
---|
Opini: DPRD Dalam Cengkraman Oligarki |
![]() |
---|
Opini: Joko Widodo, Dedy Mulyadi dan Feodalisme |
![]() |
---|
Opini: Elaborasi Pendidikan Bermakna, Mengembalikan Jiwa dalam Ruang Kelas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.