Opini

Opini: AI, Agama dan Ego Digital, Membaca Polarisasi Moral Lewat Lensa Jonathan Haidt

Salah satu dari sekian banyak fenomena adalah maraknya foto maupun video berbasis AI, yang memadukan manipulasi suara dan visual dengan tujuan

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Berno Jani 

Jonathan Haidt dan Urgensi Literasi Moral dalam Era Digital

Jonathan Haidt adalah seorang psikolog sosial asal Amerika Serikat yang dikenal luas karena pendekatannya dalam memahami moralitas, agama, dan politik. 

Lahir pada 1963 di New York dari keluarga Yahudi keturunan Rusia-Polandia, Haidt menempuh studi filsafat di Yale dan meraih gelar Ph.D. di bidang psikologi dari University of Pennsylvania. 

Kini ia menjabat sebagai profesor etika di New York University (NYU), serta mendirikan dua lembaga penting: Ethical Systems dan Heterodox Academy, yang menekankan pentingnya etika dan keberagaman pandangan di ruang publik.

Pemikiran Haidt banyak dikenal melalui tiga bukunya: The Happiness Hypothesis (2006), The Righteous Mind (2012), dan The Coddling of the American Mind (2018). 

Ia menyoroti bahwa moralitas manusia lebih digerakkan oleh intuisi emosional daripada logika, dan bahwa komunitas moral terbentuk dari nilai yang diyakini sejak dini. 

Dalam The Righteous Mind, ia menjelaskan mengapa orang baik bisa terpecah karena agama dan politik, sementara dalam The Coddling mengeritik bagaimana generasi muda yang terlalu dilindungi justru menjadi rapuh dalam menghadapi perbedaan.

Pemikiran Haidt sangat relevan dalam konteks literasi digital saat ini, di mana kemampuan teknis saja tidak cukup. 

Literasi digital harus menyentuh ranah etika dan moralitas, terutama ketika teknologi seperti AI mulai digunakan untuk memproduksi konten manipulatif yang menyentuh isu agama dan identitas. 

Literasi digital, menurut berbagai ahli dan kebijakan pemerintah, mencakup keterampilan berpikir kritis, kemampuan menyaring informasi, hingga tanggung jawab sosial dalam menyebarkan konten. 

Dalam konteks ini, pendekatan Haidt menekankan pentingnya empati, dialog lintas nilai, serta kesadaran bahwa ekspresi digital tidak terlepas dari konsekuensi moral di dunia nyata.

Melek digital bukan hanya soal menguasai teknologi, tetapi juga bagaimana seseorang menavigasi ruang digital dengan kompas moral yang kuat. 

Menggabungkan literasi digital dengan psikologi moral ala Haidt dapat menjadi pondasi penting dalam membangun masyarakat yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga dewasa secara etika dan sosial.

Sementara itu, di Indonesia, generasi digital yang biasa disebut gadget generation, hidup dalam banjir informasi tanpa cukup filter moral. 

Riana Mardina (2017) menegaskan  literasi digital haruslah bersifat multiliterasi, yaitu perpaduan antara kemampuan membaca, menulis, berpikir kritis, serta memahami dimensi hukum dan sosial. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved