Opini

Opini: Elaborasi Pendidikan Bermakna, Mengembalikan Jiwa dalam Ruang Kelas

Pembelajaran akan lebih bermakna ketika informasi baru dikaitkan secara substantif dengan struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Heryon Bernard Mbuik, S.Pak., M.Pd. 

Oleh: Heryon Bernard Mbuik
Dosen Manajemen Pendidikan, Universitas Citra Bangsa Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Dalam hiruk-pikuk kurikulum dan asesmen nasional, kita sering lupa bahwa esensi pendidikan bukanlah akumulasi pengetahuan, melainkan transformasi manusia. 

Dalam perspektif John Dewey, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan sekadar persiapan untuk hidup (Dewey, 1916). 

Artinya, jika proses pendidikan tidak menyentuh pengalaman hidup, nilai, dan kebermaknaan, maka kita sedang menciptakan ruang belajar yang kosong jiwa sekalipun penuh dengan materi.

Istilah pendidikan bermakna bukan sekadar jargon, melainkan sebuah pendekatan filosofis dan pedagogis yang berakar pada relasi antara pengetahuan dan pengalaman personal siswa. 

David Ausubel (1963) mengemukakan bahwa pembelajaran akan lebih bermakna ketika informasi baru dikaitkan secara substantif dengan struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. 

Namun, makna tidak hanya tumbuh dari aspek kognitif, tetapi juga dari keterlibatan emosional, sosial, dan spiritual.

Pendidikan yang Kehilangan Arah

Realitas pendidikan kita saat ini menunjukkan paradoks. Di satu sisi, teknologi berkembang pesat, kurikulum diperbarui, dan berbagai program penguatan kompetensi diluncurkan. 

Namun di sisi lain, ruang-ruang kelas terasa makin asing dan terasing. Siswa hadir secara fisik, tetapi tidak secara mental. 

Guru hadir sebagai penyampai materi, tetapi tidak lagi menjadi penuntun makna.

Paulo Freire menyebut gejala ini sebagai “banking education” pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai tabungan kosong yang harus diisi oleh guru. 

Tidak ada dialog, tidak ada kritik, tidak ada kebebasan untuk tumbuh (Freire, 1970). 

Model ini menjauhkan kita dari pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan.

Fenomena ini juga dikritisi oleh Gert Biesta (2020), yang menegaskan bahwa pendidikan bermakna bukan hanya tentang mencapai hasil belajar (learning outcomes), tetapi menyangkut formation yakni pembentukan identitas, karakter, dan tanggung jawab sosial. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved