Opini

Opini: AI, Agama dan Ego Digital, Membaca Polarisasi Moral Lewat Lensa Jonathan Haidt

Salah satu dari sekian banyak fenomena adalah maraknya foto maupun video berbasis AI, yang memadukan manipulasi suara dan visual dengan tujuan

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Berno Jani 

Salah satu contoh dari bentuk penistaan agama ini adalah munculnya pelbagai meme Paus Pransiskus dan Paus Leo XIV yang bersekutu dengan setan. 

Selain itu, pada 21 April 2025, setelah wafatnya Paus Fransiskus, Presiden AS Donald Trump memicu kontroversi global dengan memosting gambar AI dirinya mengenakan jubah Paus di platform Truth Social. 

Tindakan ini menuai kecaman dari Gereja Katolik, dengan Konferensi Katolik Negara Bagian New York menyebutnya penghinaan, sementara media Italia mengecam Trump sebagai "megalomania patologis."

Meskipun Trump mengklaim ingin memberi penghormatan kepada Paus, kritik muncul terkait kesopanan dan etika. Beberapa sekutu Trump membela tindakan tersebut sebagai humor. 

Tegangan antara Trump dan Gereja Katolik, terutama terkait kebijakan imigrasi, telah berlangsung lama. 

Hubungan ini turut memengaruhi konklaf 2025, dengan beberapa kandidat dari AS yang berpotensi memengaruhi arah kebijakan Gereja Katolik. 

Bangsa Indonesia sendiri melalui Pasal 28E dan 29 UUD 1945 menjamin kebebasan beragama, tetapi bukan berarti bebas tanpa batas. 

Negara juga berkewajiban menjaga kerukunan umat beragama dengan membatasi ekspresi yang berpotensi memecah belah atau menyinggung keyakinan pihak lain. 

Video meme AI digunakan untuk memalsukan suara tokoh agama, meniru bacaan kitab suci dengan suara tidak pantas, atau menyampaikan pesan keagamaan yang diselewengkan secara digital dapat dikategorikan sebagai penodaan agama dalam perspektif hukum nasional.

Dalam kerangka hukum positif Indonesia, pelaku penistaan agama melalui video AI dapat dijerat dengan Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE Tahun 2016. 

Namun, penerapan hukum ini menghadapi tantangan teknis, seperti anonimitas pembuat konten, kecepatan penyebaran di media sosial, dan kurangnya kesadaran digital masyarakat. 

Meskipun beberapa kasus penistaan agama telah berujung pada proses hukum, banyak pelaku, terutama dari kalangan remaja, tidak memahami bahwa apa yang mereka anggap sebagai "konten hiburan" sebenarnya dapat memicu konflik sosial dan masuk dalam ranah pidana.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengantisipasi penyalahgunaan teknologi AI dengan memperkuat regulasi digital, meningkatkan literasi media, serta membangun kesadaran etika global di ruang publik virtual. 

Video atau foto meme AI yang dibuat selalu menyangkut nilai-nilai hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk secara agama. 

Tanpa pengawasan yang tepat, kebebasan ekspresi melalui AI dapat menjadi alat provokasi dan penghinaan terhadap agama yang mengancam stabilitas sosial dan hukum di Indonesia.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved