Opini
Opini: Ketika Anak Prajurit Gugur di Tangan Sesama
Kekerasan, meski dibungkus dengan dalih pembinaan karakter, tetap meninggalkan jejak traumatis yang panjang.
Oleh: Yoseph Yoneta Motong Wuwur
Warga Lembata, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM- Dalam dunia militer, seragam tak hanya simbol tempur, tetapi lambang kehormatan, disiplin, dan solidaritas.
Namun, ketika seorang anak prajurit tewas dianiaya seniornya, makna simbolik itu tercoreng.
Seragam yang seharusnya melindungi justru menjadi saksi bisu atas kekerasan sistemik yang mengakar, memunculkan pertanyaan besar: apakah warisan militansi tak cukup kuat untuk menjaga darah sendiri?
Asumsi bahwa anak tentara siap menghadapi kerasnya dunia militer adalah keliru danberbahaya.
Baca juga: Sebelum Hembuskan Nafas Terakhir, Prada Lucky Namo: Saya Rindu Mama, Mama Datang Nagekeo Ko
Kekerasan, meski dibungkus dengan dalih pembinaan karakter, tetap meninggalkan jejak traumatis yang panjang.
Ketika rasa sakit dianggap bagian wajar dari proses didikan, maka kekerasan berubah dari metode menjadi budaya.
Dalam kondisi ini, siapa pun bisa menjadi korban, bahkan mereka yang berasal dari jantung institusi itu sendiri.
Tragedi ini bukan hanya soal pelanggaran individu, tapi cerminan kegagalan sistemik. Kita tak bisa lagi menormalisasi kekerasan sebagai tradisi atau warisan.
Saat nyawa melayang dalam proses pendidikan, itu menandakan sistem telah gagal menjalankan fungsi perlindungan dan pembinaan. Dan dalam setiap kegagalan sistem, ada tanggung jawab kolektif yang tak boleh diabaikan.
Kekerasan dalam Barak
Budaya senioritas dalam dunia militer sering kali menjadi dalih pembenaran atas praktik kekerasan fisik maupun psikis.
Namun, ketika praktik itu menelan korban, kita harus bersikap jujur: ini bukan lagi pembinaan, melainkan pengkhianatan terhadap nilai luhur militerisme itu sendiri. Yang seharusnya menjadi tempat membentuk patriot, justru berubah menjadi arena pemakaman mimpi.
Tindakan kekerasan tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia dilanggengkan oleh sistem, dibenarkan oleh budaya, dan didiamkan oleh ketakutan.
Senior yang menganiaya bukan hanya pelaku, tapi juga produk dari lingkungan yang memupuk dominasi atas nama "pembentukan karakter".
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.