Opini
Opini: Prostitusi Akademis di Ruang Karpet Merah
Tumbuh kesan, semesta akademik perguruan tinggi di Indonesia, lagi mengalami berahi yang tak tertahankan.
Pada pihak lain, fenomena Bahlil Lahadalia dan Raffi Ahmad justru penting. Sebab, dua tokoh ini yang meniupkan nafiri untuk mengingatkan kita tentang dua hal.
Pertama, ketahuan bahwa telah terjadi pelacuran akademis tingkat tinggi di perguruan tinggi. Pihak perguruan tinggi mulai berhala pada pragmatisme dan uang.
Pada level itu, kampus hanya menjadi kompos ijazah. Sedangkan, Bahlil dan Raffi hanya korban yang diuntungkan dari proses prostitusi akademis itu.
Kedua, Bahlil dan Raffi sedang mengingatkan perguruan tinggi Indonesia akan dekadensi akademik di sana. Terjadi kebangkrutan martabat perguruan tinggi.
Membuka kelas eklusif buat eksekutif dengan memberikannya privilege. Romantisme ilmiah menjadi sekadar libodo untuk memberikan gelar dan ijazah.
Dengan demikian, perguruan tinggi tidak lagi diharapkan sebagai tempat yang subur untuk menumbuhkan cendekiawan yang mengubah keadaan negara.
Bahlil dan Raffi sedang mengingatkan perguruan tinggi di Indonesia dalam ambang ambiguitas.
Pada satu pihak, ia berusaha mempertahankan universitas sebagai kawasan tempat pembaptisan cendekiawan yang mumpuni bekerja profesional dan profetis.
Pada pihak lain, ia tergelincir dalam lendir pragmatisme yang menyimpang dari adab ilmiah.
Bersamaan, muncul watak kekanak-kanakan, yakni menerima permen atau parsel dari kaum borjuis dan berduit di ruang kelas karpet merah. Inilah akar kejahatan prostitusi akademik yang sedang fenomenal di perguruan tinggi.
Kita sedang melawan negara yang penuh koruptor, doktor, dan profesor dengan cara gitu-gituan. Sebab, Anda paling tahu bahwa Bahlil dan Raffi hanya dua tokoh antagon dari ribuan tokoh antagon yang meraih gelar doktor cara murahan itu.
Sekarang, kampus mulai menyusun fiksi ilmiah untuk membenarkan perannya sebagai lapak ijazah atau germo akademis bagi tuan-tuan dan puan-puan di luar sana.
Alibi yang begitu tebal dari petinggi kampus dengan pertanyaan retoris: Bukankah mereka layak juga mendapatkan gelar prestisius itu?
Bukankah mereka telah melakukan hal-hal besar bagi masyarakat dan negara?
Saya hanya mempunyai keyakinan atau keraguan sekaligus bahwa di ruang kuliah karpet merah para tuan-tuan kampus dan kaum borjuis berduit minum-minum saja. Kadang, mabuk-mabukan.
Kemudian, pihak kampus meng-install hasrat mereka menjadi mantel untuk melindungi mentalitas renten. Tiba-tiba, saya teringat celoteh filsuf Prancis Michel Foucault, setiap rezim memproduksi kebenarannya sendiri. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.