Opini

Opini: Prostitusi Akademis di Ruang Karpet Merah

Tumbuh kesan, semesta akademik perguruan tinggi di Indonesia, lagi mengalami berahi yang tak tertahankan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Dr. Marsel Robot. 

Oleh: Marsel Robot
Dosen Bahasa dan Sastra FKIP Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Di tengah riuh kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) menuju perjamuan politik 27  November 2024, sebuah masalah ironis perlahan terbenam di balik bukit ingatan kita. 

Masalah itu adalah  Raffi Ahmad dan Bahlil Lahadalia memperoleh gelar doktor. 

Tumbuh kesan, semesta akademik perguruan tinggi di Indonesia, lagi mengalami berahi yang tak tertahankan. 

Bayangkan, dua pesohor negeri ini dengan aliran masing-masing berpose dan  mondar-mandir di halaman sejarah Indonesia dengan menenteng ijazah bergelar doktor. 

Raffi Ahmad, presenter, aktor, pengusaha entertain menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universal Institute of Professional Management (UIPM). 

Kini, ia kian sumringah merayakan perpindahan panggung dari  panggung hura-hura (hiburan) ke panggung pura-pura (eksekutif)  sebagai Utusan Khusus Presiden Prabowo Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. 

Sedangkan, Bahlil Lahadalia adalah  aktor politik, Ketua Partai Golongan Karya (Golkar) terpilih secara misterius  setelah tukang mebel (baca: mantan Presiden Jokowi) menyensor pohon beringin (lambang Partai  Gologan Karya). 

Kini, Bahlil dipercayakan sebagai menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) oleh Presiden Prabowo. Bahlil mendapat gelar doktor dari salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, Universitas Indonesia

Ia meraih gelar doktor di bawah dua tahun. Memang tak lazim. Tak lazim memang. Kurun waktu yang begitu ringkas mendapat gelar akademik bergengsi itu. Persis kursus menjadi doktor. 

Setara dengan durasi kursus menjahit. Tentu, yang lebih lebay ialah institusi (kampus) dan  intsruktur (para dosen). Sepertinya, universitas dan dosen sedang berperan sebagai germo untuk melacurkan kualitas dan merendahkan martabat akademik di kampus. 

Praktik prostitusi akademis semacam itu  sesungguhnya sudah sangat lama dibudidayakan di universitas-universitas terkemuka di Indonesia. 

Semisal, untuk level doktoral (S3), lazimnya disediakan “ruang kelas karpet merah” buat pemburu ijazah atau pendamba gelar yang tak lain kaum borjuis, pejabat, atau orang-orang berduit. 

Ada semacam privilege (diistimewakan) terhadap orang-orang seperti itu. Aktivitas akademik di ruang kelas karpet merah itu tidak jelas. 

Seumpama,  kapan kuliah? Kapan melakukan riset? Kapan menulis artikel terindeks scopus? Kapan menulis disertasi dan tetek-bengek akademis lainnya. 

Dari sekian yang tidak jelas itu,  hanya satu yang jelas ialah ujian terbuka. Begitu meriah. Ruang kelas karpet merah itu harum dengan parfum produksi relasi petinggi kampus dengan petinggi di luar sana. 

Bunga-bunga ucapan selamat merimbun di luar ruang kelas sebagai simbol legitimasi sosial, dan senyum sang doktor karbitan itu begitu ranum.  

Peran kampus sebagai ruang remang (germo) kian masif baik di universitas swasta maupun universitas negeri. Pihak kampus terlibat secara sistematis dari rektor hingga para dosen dan karyawan kampus. 

Maklum, rektor adalah suku cadang dari mesin politik praktis di luar sana. Bahkan, uluran tangan eksternal sangat kuat untuk menentukan siapa rektor di sebuah universitas. 

Semisal, 30 persen suara pemilihan rektor dari Menteri Pendidikan. Selebihnya, senat universitas. Sedangkan, dosen, mahasiswa, dan karyawan kampus tidak terlibat dalam pemilihan rektor.  

Jatah 30 persen adalah tali kendali yang satu ujung di pegang pemerintah dan ujung lain dipegang rektor. Juga merupakan algojo untuk mematikan demokrasi di kampus. 

Efek samping hubungan mutualisme seperti itu justru membangkrutkan nilai akademik satu universitas. Padahal, kampus yang melakukan revolusi  memperjuangkan demokrasi. 

Pada sisi lain,  kampus pulalah  yang paling setia  merawat feodalistis itu.  Kampus pun begitu belepotan dengan  lendir pragmatisme, jorok.  

Itulah sebabnya, kita tidak perlu menggelengkan kepala atau heran bila melihat semua ketua partai politik di Indonesia telah memiliki gelar doktor, bahkan profesor. 

Sementara, di dalam sini (dalam lingkungan internal kampus) begitu bengis dengan mekanisme akademik yang begitu kejam. 

Coba Anda selidiki,  persyaratan menjadi  profesor yang mengikuti jalur reguler, rumitnya bukan kepalang, bagai mendaki tangga angin. 

Ada sejumlah syarat yang sengaja memberatkan sang calon. Calon profesor harus menulis di jurnal scopus sebagai syarat khusus. Regulasi menyuruh para dosen untuk menyembah berhala pada jurnal terindeks scopus.  

Ada juga syarat khusus tambahan. Misalnya, pernah membimbing atau menguji mahasiswa program doktor minimal tiga orang. 

Lantas, bagaimana kampus yang di kampung dan tidak mempunyai program doktor itu? 

Syarat itu adalah cara paling santun untuk menyingkirkan sang calon dari kompetisi itu. Dari sana pulalah ketahuan, perangai kampus bagai buah kedondong, licin di luar (banyak kemudahan buat kaum borjuis-berduit), penuh serat bagian dalam (menyulitkan bagi warga kampus).  

Pada pihak lain, fenomena Bahlil Lahadalia dan Raffi Ahmad justru penting. Sebab, dua tokoh ini yang meniupkan nafiri untuk mengingatkan kita tentang dua hal. 

Pertama, ketahuan bahwa telah terjadi pelacuran akademis  tingkat tinggi di perguruan tinggi. Pihak perguruan tinggi mulai berhala pada pragmatisme dan uang. 

Pada level itu, kampus hanya menjadi kompos ijazah. Sedangkan, Bahlil dan Raffi hanya  korban yang diuntungkan dari proses prostitusi akademis itu. 

Kedua, Bahlil dan Raffi sedang mengingatkan perguruan tinggi Indonesia akan dekadensi akademik di sana. Terjadi kebangkrutan martabat perguruan tinggi. 

Membuka kelas eklusif buat eksekutif dengan memberikannya privilege. Romantisme ilmiah menjadi sekadar libodo untuk memberikan gelar dan ijazah. 

Dengan demikian, perguruan tinggi tidak lagi diharapkan sebagai tempat yang subur untuk menumbuhkan cendekiawan yang mengubah keadaan negara.  

Bahlil dan Raffi sedang mengingatkan perguruan tinggi di Indonesia dalam ambang ambiguitas. 

Pada satu pihak, ia berusaha mempertahankan universitas sebagai kawasan tempat pembaptisan cendekiawan yang mumpuni bekerja profesional dan profetis. 

Pada pihak lain, ia tergelincir dalam lendir pragmatisme  yang menyimpang dari adab ilmiah. 

Bersamaan, muncul watak kekanak-kanakan, yakni menerima permen atau parsel dari kaum borjuis dan berduit di ruang kelas karpet merah. Inilah akar kejahatan prostitusi  akademik yang sedang fenomenal di perguruan tinggi. 

Kita sedang melawan negara yang penuh koruptor, doktor, dan profesor dengan cara gitu-gituan. Sebab, Anda paling tahu bahwa Bahlil dan Raffi hanya dua tokoh antagon dari ribuan tokoh antagon yang meraih gelar doktor cara murahan itu. 

Sekarang, kampus mulai menyusun fiksi ilmiah untuk membenarkan perannya sebagai lapak ijazah atau germo akademis bagi tuan-tuan dan puan-puan di luar sana. 

Alibi yang begitu tebal dari petinggi kampus dengan pertanyaan retoris:  Bukankah mereka layak juga mendapatkan  gelar prestisius itu? 

Bukankah mereka telah melakukan hal-hal besar bagi masyarakat dan negara? 

Saya hanya mempunyai keyakinan atau keraguan sekaligus bahwa di ruang kuliah karpet merah para tuan-tuan kampus dan kaum borjuis berduit minum-minum saja. Kadang, mabuk-mabukan. 

Kemudian, pihak kampus meng-install hasrat mereka menjadi mantel untuk melindungi mentalitas renten. Tiba-tiba, saya teringat celoteh  filsuf Prancis Michel Foucault, setiap rezim memproduksi kebenarannya sendiri. (*)

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved