Opini

Opini: Prostitusi Akademis di Ruang Karpet Merah

Tumbuh kesan, semesta akademik perguruan tinggi di Indonesia, lagi mengalami berahi yang tak tertahankan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Dr. Marsel Robot. 

Dari sekian yang tidak jelas itu,  hanya satu yang jelas ialah ujian terbuka. Begitu meriah. Ruang kelas karpet merah itu harum dengan parfum produksi relasi petinggi kampus dengan petinggi di luar sana. 

Bunga-bunga ucapan selamat merimbun di luar ruang kelas sebagai simbol legitimasi sosial, dan senyum sang doktor karbitan itu begitu ranum.  

Peran kampus sebagai ruang remang (germo) kian masif baik di universitas swasta maupun universitas negeri. Pihak kampus terlibat secara sistematis dari rektor hingga para dosen dan karyawan kampus. 

Maklum, rektor adalah suku cadang dari mesin politik praktis di luar sana. Bahkan, uluran tangan eksternal sangat kuat untuk menentukan siapa rektor di sebuah universitas. 

Semisal, 30 persen suara pemilihan rektor dari Menteri Pendidikan. Selebihnya, senat universitas. Sedangkan, dosen, mahasiswa, dan karyawan kampus tidak terlibat dalam pemilihan rektor.  

Jatah 30 persen adalah tali kendali yang satu ujung di pegang pemerintah dan ujung lain dipegang rektor. Juga merupakan algojo untuk mematikan demokrasi di kampus. 

Efek samping hubungan mutualisme seperti itu justru membangkrutkan nilai akademik satu universitas. Padahal, kampus yang melakukan revolusi  memperjuangkan demokrasi. 

Pada sisi lain,  kampus pulalah  yang paling setia  merawat feodalistis itu.  Kampus pun begitu belepotan dengan  lendir pragmatisme, jorok.  

Itulah sebabnya, kita tidak perlu menggelengkan kepala atau heran bila melihat semua ketua partai politik di Indonesia telah memiliki gelar doktor, bahkan profesor. 

Sementara, di dalam sini (dalam lingkungan internal kampus) begitu bengis dengan mekanisme akademik yang begitu kejam. 

Coba Anda selidiki,  persyaratan menjadi  profesor yang mengikuti jalur reguler, rumitnya bukan kepalang, bagai mendaki tangga angin. 

Ada sejumlah syarat yang sengaja memberatkan sang calon. Calon profesor harus menulis di jurnal scopus sebagai syarat khusus. Regulasi menyuruh para dosen untuk menyembah berhala pada jurnal terindeks scopus.  

Ada juga syarat khusus tambahan. Misalnya, pernah membimbing atau menguji mahasiswa program doktor minimal tiga orang. 

Lantas, bagaimana kampus yang di kampung dan tidak mempunyai program doktor itu? 

Syarat itu adalah cara paling santun untuk menyingkirkan sang calon dari kompetisi itu. Dari sana pulalah ketahuan, perangai kampus bagai buah kedondong, licin di luar (banyak kemudahan buat kaum borjuis-berduit), penuh serat bagian dalam (menyulitkan bagi warga kampus).  

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved