Opini
Opini: Sejarah Lenyap dalam Ruang Pameran
Foto-foto yang tersimpan di album keluarga kita adalah bagian dari sejarah keluarga karena kita mengenal peristiwa dan orang-orang dalam foto tersebut
Dengan mengandalkan narasi lisan dan pengumpulan foto secara partisipatoris, pemilik utama arsip foto dan narasinya tentu saja adalah keluarga-keluarga dan orang-orang yang dimintai arsipnya dan diwawancarai kisahnya.
Konsekuensi logisnya, setiap keluarga dan individu merawat narasi mereka secara berbeda. Ada yang menyimpannya sebagai bagian dari sejarah internal keluarga, bahkan sejarah personalnya sendiri. Ada yang tidak keberatan untuk membagikannya kepada publik.
Karena itu, risiko dari pengumpulan arsip partisipatoris adalah penolakan dari orang-orang yang dimintai arsip dan diwawancarai untuk memberikan informasi dan dokumen.
Alih-alih meloloskan karya yang mengkritik warga sebagai pemilik awal dokumen dan narasi, kurator edisi 2022 sebagai pengelola wacana pameran seharusnya jeli melihat penolakan sebagai bagian dari perawatan narasi, sebagai bagian dari preferensi pemilik arsip yang harus dihargai, sekaligus, yang terpenting, sebagai risiko langsung dari pengumpulan dokumen secara partisipatoris.
Goyahnya hubungan antara teks dan foto juga bisa kita temukan dalam pameran-pameran edisi sebelumnya.
Di edisi 2022, misalnya, indikator tersebut tampak dari dikaburkannya arsip-arsip tekstual Pos Kupang, dan tidak adanya keterangan-keterangan memadai bagi foto-foto close-up yang digantung di lorong ruangan.
Pada edisi 2020, pengunjung bahkan tidak memiliki linimasa waktu penanda foto-foto yang dipamerkan. Foto-foto lintas waktu dipajang secara sporadis di tembok ruangan bekas Pabrik Es Minerva, lokasi pameran saat itu.
Dengan mengulangi awasan Curtis bahwa kata-kata memberikan makna pada fakta-fakta fotografis, hubungan yang timpang antara keduanya hanya akan melahirkan ambiguitas dan kebingungan.
Dalam konteks pameran publik yang mengandalkan dokumentasi dan pengisahan personal para pemilik arsip dan narasi, ketimpangan semacam itu, terutama ketiadaan teks yang memadai untuk menopang foto- foto, justru melenyapkan konteks historis foto-foto tersebut.
Sebuah ironi terjadi: sejarah justru lenyap di dalam ruang pameran dokumentasi bersejarah karena pengunjung tidak bisa merekonstruksi kisah di balik foto-foto yang ditatapnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.