Opini

Opini: Sejarah Lenyap dalam Ruang Pameran

Foto-foto yang tersimpan di album keluarga kita adalah bagian dari sejarah keluarga karena kita mengenal peristiwa dan orang-orang dalam foto tersebut

|
Editor: Dion DB Putra
FOTO KIRIMAN MARIO F LAWI
Salah satu ruangan pameran Merekam Kota 2024. Pameran diselenggarakan di De Museum Cafe JKK, Kelurahan LLBK, Kecamatan Kota Lama, Kupang pada 12-26 Oktober 2024, dengan kurator Frengki Lollo. 

Ketidaksalingterhubungan teks dan foto sebenarnya masih bisa disiasati, seandainya pengunjung memperoleh penjelasan dan benang merah dari catatan kuratorial. 

Sayangnya, catatan kuratorial yang biasanya berfungsi untuk memberikan kerangka dasar pameran, justru menghadirkan ambiguitas— dengan penulisan yang abai pada EYD dan logika gramatikal.

Saya kutip lengkap paragraf pertama: “Ruang berkumpul sebuah ranah yang longgar untuk ditafsirkan: bisa berupa wajah kota, wajah komunitas, atau mereka yang diperlakukan ekstrem. Sebuah gambaran ruang tanpa berkumpul atau berkumpul tanpa ruang. Pameran ini juga ingin menghadirkan sejumlah rentetan peristiwa-peristiwa: melahirkan gerakan politis atau apolitis.”

Dengan pembuka tulisan semacam itu, kita tentu saja tidak bisa mengharapkan untuk memperoleh hal yang esensial bagi sebuah pameran di paragraf-paragraf selanjutnya: mengapa pameran diberi subtema Lokus Raja, mengapa foto-foto ini yang dipajang di ruang pameran dan bukan foto-foto itu, apa makna karya-karya responsif para seniman bagi wacana pameran, dan seterusnya. 

Sebaliknya, pengunjung disibukkan dengan hal-hal sepele—siapakah kami dan mereka dalam catatan kuratorial— yang justru tak perlu membingungkan seandainya catatan tersebut dikerjakan dengan pengetahuan bahasa dan wacana yang memadai. 

Lalu, bagaimana mungkin politisasi arsip dan dokumen dalam bentuk pameran ditujukan untuk melahirkan gerakan apolitis seperti pandangan sang kurator?

Tanpa diikat oleh catatan kuratorial yang tajam dan jernih, narasi teks dan foto-foto yang saling terhubung, yang mendudukkan konteks foto-foto tersebut dibuat, pameran tidak menegaskan muatan wacananya. Tanpa dukungan narasi, foto-foto apa pun bisa diletakkan di sana. 

Sebaliknya, tanpa dukungan foto-foto sebagai keterangan bagi narasi-narasi yang ada, pembaca hanya dapat mereka-reka situasi dan kondisi visual yang disarankan oleh teks.

Ada empat aturan utama dalam praktik kuratorial menurut Sue Spaid dalam The Philosophy of Curatorial Practice: Between Work and World (2020). Pertama, investasi pada makna abadi karya yang dipresentasikan. 

Kedua, penghormatan terhadap preferensi seniman, baik yang masih hidup, maupun yang telah meninggal. Ketiga, penyampaian gagasan secara tepat kepada beragam khalayak. 

Keempat, empati kepada berbagai pendekatan penonton terhadap seni. Orang-orang yang belajar bahasa Latin tentu tahu bahwa kurator, secara etimologis, berasal dari verba Latin curare yang berarti merawat.

Dengan berpatokan pada aturan-aturan tersebut, kita bisa mempersoalkan masalah kurasi dalam Merekam Kota. Tanpa keterangan narasi di setiap foto yang dipamerkan, pengunjung bisa berasumsi bahwa kurator bahkan tidak menguasai materi pamerannya. 

Apalagi, hal tersebut jelas ditunjukkan dengan mengambangnya catatan kuratorial. Tanpa catatan kuratorial yang jelas, gagasan yang sampai ke pengunjung menjadi sangat terbatas dan kabur.

Soal preferensi, penyesuaian bisa kita lakukan dengan mengganti karya seni dengan arsip fotografis, dan saya ingin mengaitkannya dengan pameran Merekam Kota edisi sebelumnya sebagai sebuah rangkaian yang diikat secara tematis dengan edisi terkini. 

Pada Merekam Kota 2022, pengunjung menemukan satu karya respons seniman berjudul Menyandera Kota (luster, 135x90 cm) karya Felzip Christian. Karya tersebut, sesuai keterangannya, diinspirasi oleh penolakan sejumlah pemilik arsip terhadap tim pameran.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved