Opini

Opini: Sejarah Lenyap dalam Ruang Pameran

Foto-foto yang tersimpan di album keluarga kita adalah bagian dari sejarah keluarga karena kita mengenal peristiwa dan orang-orang dalam foto tersebut

|
Editor: Dion DB Putra
FOTO KIRIMAN MARIO F LAWI
Salah satu ruangan pameran Merekam Kota 2024. Pameran diselenggarakan di De Museum Cafe JKK, Kelurahan LLBK, Kecamatan Kota Lama, Kupang pada 12-26 Oktober 2024, dengan kurator Frengki Lollo. 

Oleh: Mario F. Lawi
Komunitas Sastra Dusun Flobamora

POS-KUPANG.COM - Sesuatu berharga bagi kita karena ada narasi yang menghubungkan kita dengan hal tersebut. 

Kita menyimpan selembar foto karena yang ada di dalam foto adalah gambar wajah keluarga kita, para sahabat kita, bahkan orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan kita. 

Foto-foto yang tersimpan di album keluarga kita adalah bagian dari sejarah keluarga, karena kita mengenal peristiwa dan orang-orang yang ada di dalam foto-foto tersebut. 

Cara kita menyusun foto-foto dalam album tersebut mewakili kisah-kisah yang ingin kita urutkan. 

Untuk membagikan kisah di balik foto-foto tersebut kepada orang lain, kita biasanya bercerita. Jika tanpa keterangan tertulis pada album, kisah-kisah di balik foto kita sampaikan secara lisan. 

Martha Langford setuju, karena itu, di dalam Suspended Conversations: the Afterlife of Memory in Photographic Albums (2001), ia menegaskan, pengenalan terhadap struktur lisan dan penampilan interpretatif sebuah album akan membawa kita lebih dekat untuk memahami karya fotografis.

Freund dan Thomson dalam pengantar buku suntingan mereka, Oral History and Photography (2011), menekankan hubungan antara keberlisanan, tepatnya sejarah lisan, dan fotografi. 

Esai pengantar tersebut dibuka dengan dua kutipan, masing-masing dari Phillip Gourevitch dan Walter J. Ong. 

Menurut Gourevitch, foto-foto tidak dapat mengutarakan cerita. Yang bisa ditampilkan hanyalah bukti cerita, tetapi bukti tersebut diam, sehingga membutuhkan penyelidikan dan penafsiran. 

Dengan cara pandang seperti itu, selembar foto paling baik dapat dipahami bukan sebagai akhir penyelidikan, melainkan sebagai undangan untuk melihat secara lebih dekat, sekaligus undangan untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan. 

Dalam maksud yang sama dengan rumusan berbeda, Walter J. Ong menegaskan bahwa sebuah gambar bernilai seribu kata hanya dalam kondisi khusus—yang biasanya termasuk konteks kata- kata tempat gambar tersebut dipajang.

Bagi Freund dan Thomson, sejarah lisan dan fotografi bertemu di titik-titik penting epistemik: bukti, memori, dan storytelling. 

Untuk mencari lebih banyak fakta sejarah, para sejarawan lisan menggunakan foto dengan dua cara: sebagai dokumen-dokumen sejarah sosial, dan sebagai perangkat mnemonik.

Sebagai dokumen sejarah sosial, foto-foto menyimpan fakta-fakta tentang kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman di masa lalu. Sebagai perangkat mnemonik, foto-foto memberikan stimulasi terhadap ingatan.

Pendapat-pendapat di atas menyempilkan satu hal yang tak terelakkan. Sejarah tidak alamiah. 

Sejarah justru dikonstruksi. James C. Curtis menegaskan, melalui “Documentary Photographs as Texts”, bahwa foto-foto bisu, sebagaimana gambar menyediakan fakta, tetapi kata menyediakan makna. Demikianlah, kata-kata menunjang foto-foto dengan makna.

Sejarah lisan dan fotografi adalah juga dua hal yang menandai pameran Merekam Kota yang secara rutin diselenggarakan oleh SkolMus. Tahun ini, pameran masih mengangkat tema Ruang Berkumpul, dengan subtema Lokus Raja. 

Pameran diselenggarakan di De Museum Cafe JKK, Kelurahan LLBK, Kecamatan Kota Lama, Kupang  pada 12-26 Oktober 2024, dengan kurator Frengki Lollo. 

Dari segi penataan artistik, pameran kali ini menunjukkan peningkatan. Tulisan-tulisan tim pengumpul data ditempelkan ke dinding dengan ketikan yang bisa dibaca. 

Tidak lagi ada yang langsung dituliskan pada tembok seperti pameran sebelumnya, sesuatu yang justru kontradiktif dan kontraproduktif: semangat memperkenalkan sejarah kepada masyarakat umum dilakukan dengan praktik vandalisme di gedung bersejarah.

Memasuki ruang tengah pameran, pengunjung disambut teks puisi. Di balik teks puisi tersembunyi catatan kuratorial. Foto-foto ditata di ruangan tersebut, lengkap dengan sejumlah narasi yang dikumpulkan tim pameran. 

Di ruang kanan, rumah-rumahan kertas digantung, dilubangi bagian dasarnya, dan di sisi-sisi dalam rumah foto-foto ditempelkan. 

Pengunjung dapat melongokkan kepala untuk melihat foto-foto yang tertempel di masing-masing sisi dalam miniatur rumah tersebut. 

Di ruang kiri, selain catatan hasil wawancara tim pameran, ada dua rak yang diberi lampu, tempat pengunjung dianjurkan untuk menitipkan arsip lengkap dengan cerita latarnya. 

Berbagai karya respons para seniman pun dipajang di lorong menuju ruang belakang, tempat sebuah karya instalasi dipajang berhadapan dengan foto-foto dan tulisan berjudul Hiburan dan Kelas.

Jika tulisan ini diawali dengan paragraf-paragraf yang menekankan pentingnya hubungan antara keterangan foto, sejarah lisan, dan fotografi, hal-hal itulah yang tidak tampak dalam pameran Merekam Kota tahun ini. 

Foto-foto yang dipamerkan tidak didukung oleh keterangan naratif yang memadai.

Sebaliknya, teks-teks yang ditempelkan di tembok-tembok ruangan, yang memerlukan penyuntingan ketat sebagai bagian dari pameran, tidak didukung oleh keterangan gambar yang presisi.

Mempersoalkan Masalah Kuratorial

Ketidaksalingterhubungan teks dan foto sebenarnya masih bisa disiasati, seandainya pengunjung memperoleh penjelasan dan benang merah dari catatan kuratorial. 

Sayangnya, catatan kuratorial yang biasanya berfungsi untuk memberikan kerangka dasar pameran, justru menghadirkan ambiguitas— dengan penulisan yang abai pada EYD dan logika gramatikal.

Saya kutip lengkap paragraf pertama: “Ruang berkumpul sebuah ranah yang longgar untuk ditafsirkan: bisa berupa wajah kota, wajah komunitas, atau mereka yang diperlakukan ekstrem. Sebuah gambaran ruang tanpa berkumpul atau berkumpul tanpa ruang. Pameran ini juga ingin menghadirkan sejumlah rentetan peristiwa-peristiwa: melahirkan gerakan politis atau apolitis.”

Dengan pembuka tulisan semacam itu, kita tentu saja tidak bisa mengharapkan untuk memperoleh hal yang esensial bagi sebuah pameran di paragraf-paragraf selanjutnya: mengapa pameran diberi subtema Lokus Raja, mengapa foto-foto ini yang dipajang di ruang pameran dan bukan foto-foto itu, apa makna karya-karya responsif para seniman bagi wacana pameran, dan seterusnya. 

Sebaliknya, pengunjung disibukkan dengan hal-hal sepele—siapakah kami dan mereka dalam catatan kuratorial— yang justru tak perlu membingungkan seandainya catatan tersebut dikerjakan dengan pengetahuan bahasa dan wacana yang memadai. 

Lalu, bagaimana mungkin politisasi arsip dan dokumen dalam bentuk pameran ditujukan untuk melahirkan gerakan apolitis seperti pandangan sang kurator?

Tanpa diikat oleh catatan kuratorial yang tajam dan jernih, narasi teks dan foto-foto yang saling terhubung, yang mendudukkan konteks foto-foto tersebut dibuat, pameran tidak menegaskan muatan wacananya. Tanpa dukungan narasi, foto-foto apa pun bisa diletakkan di sana. 

Sebaliknya, tanpa dukungan foto-foto sebagai keterangan bagi narasi-narasi yang ada, pembaca hanya dapat mereka-reka situasi dan kondisi visual yang disarankan oleh teks.

Ada empat aturan utama dalam praktik kuratorial menurut Sue Spaid dalam The Philosophy of Curatorial Practice: Between Work and World (2020). Pertama, investasi pada makna abadi karya yang dipresentasikan. 

Kedua, penghormatan terhadap preferensi seniman, baik yang masih hidup, maupun yang telah meninggal. Ketiga, penyampaian gagasan secara tepat kepada beragam khalayak. 

Keempat, empati kepada berbagai pendekatan penonton terhadap seni. Orang-orang yang belajar bahasa Latin tentu tahu bahwa kurator, secara etimologis, berasal dari verba Latin curare yang berarti merawat.

Dengan berpatokan pada aturan-aturan tersebut, kita bisa mempersoalkan masalah kurasi dalam Merekam Kota. Tanpa keterangan narasi di setiap foto yang dipamerkan, pengunjung bisa berasumsi bahwa kurator bahkan tidak menguasai materi pamerannya. 

Apalagi, hal tersebut jelas ditunjukkan dengan mengambangnya catatan kuratorial. Tanpa catatan kuratorial yang jelas, gagasan yang sampai ke pengunjung menjadi sangat terbatas dan kabur.

Soal preferensi, penyesuaian bisa kita lakukan dengan mengganti karya seni dengan arsip fotografis, dan saya ingin mengaitkannya dengan pameran Merekam Kota edisi sebelumnya sebagai sebuah rangkaian yang diikat secara tematis dengan edisi terkini. 

Pada Merekam Kota 2022, pengunjung menemukan satu karya respons seniman berjudul Menyandera Kota (luster, 135x90 cm) karya Felzip Christian. Karya tersebut, sesuai keterangannya, diinspirasi oleh penolakan sejumlah pemilik arsip terhadap tim pameran.

Dengan mengandalkan narasi lisan dan pengumpulan foto secara partisipatoris, pemilik utama arsip foto dan narasinya tentu saja adalah keluarga-keluarga dan orang-orang yang dimintai arsipnya dan diwawancarai kisahnya. 

Konsekuensi logisnya, setiap keluarga dan individu merawat narasi mereka secara berbeda. Ada yang menyimpannya sebagai bagian dari sejarah internal keluarga, bahkan sejarah personalnya sendiri. Ada yang tidak keberatan untuk membagikannya kepada publik. 

Karena itu, risiko dari pengumpulan arsip partisipatoris adalah penolakan dari orang-orang yang dimintai arsip dan diwawancarai untuk memberikan informasi dan dokumen.

Alih-alih meloloskan karya yang mengkritik warga sebagai pemilik awal dokumen dan narasi, kurator edisi 2022 sebagai pengelola wacana pameran seharusnya jeli melihat penolakan sebagai bagian dari perawatan narasi, sebagai bagian dari preferensi pemilik arsip yang harus dihargai, sekaligus, yang terpenting, sebagai risiko langsung dari pengumpulan dokumen secara partisipatoris.

Goyahnya hubungan antara teks dan foto juga bisa kita temukan dalam pameran-pameran edisi sebelumnya. 

Di edisi 2022, misalnya, indikator tersebut tampak dari dikaburkannya arsip-arsip tekstual Pos Kupang, dan tidak adanya keterangan-keterangan memadai bagi foto-foto close-up yang digantung di lorong ruangan. 

Pada edisi 2020, pengunjung bahkan tidak memiliki linimasa waktu penanda foto-foto yang dipamerkan. Foto-foto lintas waktu dipajang secara sporadis di tembok ruangan bekas Pabrik Es Minerva, lokasi pameran saat itu.

Dengan mengulangi awasan Curtis bahwa kata-kata memberikan makna pada fakta-fakta fotografis, hubungan yang timpang antara keduanya hanya akan melahirkan ambiguitas dan kebingungan. 

Dalam konteks pameran publik yang mengandalkan dokumentasi dan pengisahan personal para pemilik arsip dan narasi, ketimpangan semacam itu, terutama ketiadaan teks yang memadai untuk menopang foto- foto, justru melenyapkan konteks historis foto-foto tersebut. 

Sebuah ironi terjadi: sejarah justru lenyap di dalam ruang pameran dokumentasi bersejarah karena pengunjung tidak bisa merekonstruksi kisah di balik foto-foto yang ditatapnya. (*)

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved