Cerpen
Cerpen: Maaf, Aku Mencintaimu
Apa mungkin Denada tak mengetahui isi hati Toni atau mungkin dari gelagat yang berbeda Denada merasakan hal yang sama?
Kita akhiri perbincangan dengan berbagai kesibukan selanjutkan yang memerlukan perhatian penuh. Hari-hari kita begitu melelahkan. Kadang harus ada canda dan tawa biar hari tak terasa begitu berat.
Kau terlalu tangguh untuk hal ini, dan aku melihat sendiri dari dekat bagaimana engkau tak pernah lelah untuk mengarungi perjalan yang begitu jauh. Selalu ada senyum yang selalu menghiasa wajah yang manis.”
“Sampai kita akan pergi dari tempat ini, ada banyak kisah yang telah membuat kita menjadi lebih akrab dan lebih dewasa dalam melihat hidup yang begitu rumit. Masih ada canda dan tawa saat malam mulai tiba, di tempat perkumpulan biasa.
Kita banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman yang menggugah, menantang, dan yang mendewasakan kita. Kita harus mengakhiri kisah ini dengan kerinduan yang mendalam tentang kita, realitas, dan orang-orang yang kita jumpai.
Kita masih harus berjuang dengan cara yang unik untuk sampai pada apa yang kita inginkan. Rasa lelap untuk libur yang tinggal menyisahkan beberapa waktu saja.
***
Kita harus kembali ke aktivitas kita seperti biasa. Hari-hari yang kita lalui penuh harapan karena tak terasa bahwa kita sudah di ambang perjuangan untuk akhir yang masih membawa kebaruan.
“Aku masih ingin sebuah hadia yang pernah aku janjikan telah aku beri. Semoga engkau sudah memahaminya. Sebuah tas dengan nama yang indah. Cincin yang terbuat dari bahan unik yang tak bermaksud lebih.
Ini hanya sebuah pemberian layaknya kita adalah sesama pejuang untuk hidup yang kadang-kadang rumit. Kita pantasa untuk merayakan hari-hari kita dengan berbagai impian yang sehat untuk menambah daya juang yang kadang-kadang pupus oleh perjuangan kita yang melelahkan.”
“Kita melewati hari dengan biasa, kadang bercanda, bertegur sapa dan bahkan tak pernah untuk berteguh sapa.
Mungkin kita terlalu menipu rasa dengan gelagat tubuh yang seolah kuat dan tegar, tetapi nyatanya bahwa hati kita menyimpan gelora yang selalu takut untuk diungkapkan.
Maaf bila menyebut kita, tetapi lebih-lebih aku yang selalu menyimpan rasa yang berlebihan. Kita sudah berjalan terlalu jauh, dan kita sama-sama berharap untuk tetap menikmati setiap momen hidup yang mungkin melelahkan.
Ini pilihan kita, bukan? Tapi maaf aku mencintaimu. Tak mengapa kan kalau aku harus jujur dengan hati yang masih terlalu rapuh? Aku berharap tidak ada kemarahan yang menjadi persoalan tambahan yang merumitkan hati.”
***
Hari-hari begitu melelahkan, tetapi juga menjadi sangat berbeda. Hari-hari tidak seperti biasanya yang selalu menghadirkan canda dan tawa.
Akhir-akhir ini canda, tawa, atau bahkan menyapa pun sudah terlalu asing. Kita menjadi orang asing yang terbungkan oleh ego. Mungkinkan mencintai itu terlalu naif?
Bukankah hidup ini adalah manifestasi dari cinta? demikian kata seorang filsuf. Dan bagiku, tak mengapa bila aku harus mengatakan “aku mencintaimu”? pilihan hidup yang unik dan menantang tidak serta-merta harus menolak hal-hal dasariah dari hidup yang begitu unik dan menakjubkan.
Bila demikian, bukankah kita akan menjadi penyangkal yang terlalu berpikir muluk dengan hidup yang begitu rumit?
Kita selalu ada untuk saling membagikan cinta, semisal menyapa, senyum, canda, dan tawa.
Kita tidah harus berpikir untuk sesuatu yang terlalu melampaui pilihan kita. Kita memang ada untuk bersama, tetapi sekaligus harus menjadi pribadi yang Tangguh dan kuat dalam menjalani kesendirian.”
“Maaf, aku mencintaimu, tetapi tidak untuk membawa karena kamu telah pergi untuk pilihan yang lebih unik bagimu.” (*)
*Yohanes Boli Jawang, mahasiswa UNPAR (Filsafat).

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.