Cerpen
Cerpen: Maaf, Aku Mencintaimu
Apa mungkin Denada tak mengetahui isi hati Toni atau mungkin dari gelagat yang berbeda Denada merasakan hal yang sama?
Memang berat, kadang melelahka bahkan menjengkelkan tatkala kita harus berhadapan dengan persoalan jaringan yang kurang memadai. “
“Awalnya kita begitu polos untuk saling menyapa, meskipun terlihat kaku karena memang kita adalah orang asing yang tak pernah saling mengenal. Saat itu pandemi mulai reda, masker menjadi pelindung saat kita harus saling bertemu.
Kita masih seperti orang asing yang tak saling mengenal. Menyapa. Sesekali membuang senyum, bercanda, meskipun kita tak begitu akrab.
Tapi setidaknya bahwa waktu telah membawa kita dan membuat kita menjadi semakin akrab. Tidak ada persoalan rasa yang begitu menghalangi pertemuan-pertemuan awal, sehingga kita tak begitu kaku.”
“Pertemuan awal kita tak begitu sering. Pembagian untuk pertemuan dilakukan dengan dua kelompok dalam dua pertemuan. Untukmu tak ada batasan hari karena diberi kebebasan untuk bisa bergabung dalam semua hari atau mungkin pada hari-hari tertentu.”
***
Seorang wanita pejuang, yang setiap hari harus bergegas lebih pagi menuju ke tempat pertemuan. Tak banyak berbicara, itulah yang aku lihat; murah senyum, ramah, pandai, tetapi juga cantik dan manis.
“Kemolekan bagiku untuk dia adalah pancaran ketulusan dan kepolosan hati yang disematkan dalam setiap tawa dan candanya. Kita jarang untuk bercerita lebih lama, hanya jika perlu bercanda menjadi cara yang paling baik untuk lebih mengakrabkan diri.
Biasanya waktu begitu cepat, mentari mulai terasa begitu hangat kita hanya petulangan yang selalu bernaung di bawah atap, dengan dua buah AC penyegar saat kita sedang mendengarkan beberapa wejangan, nasihat, dan beberapa materi yang melelahkan pikiran.”
“Mata sesekali memandang ke arahmu, tetapi semoga saja kamu tak merasakan itu, he…he...he. rasa masih terlalu polos untuk menyadari kemolekan hati yang terpancar dari pribadi seorang wanita pejuang sepertimu.
Terkadang kamu begitu cepat untuk hadir dalam setiap pertemuan, tetapi kadang-kadang begitu lamban. Tetapi ini bukan persoalan cepat atau lamban, tetapi karena kehadiranmu memberi sesuatu yang berarti. Entahlah, tapi rasa tak mau untuk membohongi dirinya.”
“Awal yang begitu biasa dan kita tak pernah banyak bercerita. Perkenalan ibarat air yang mengalir begitu saja tanpa mau untuk menandai waktu dan tempat saat pertama kita saling menyapa. Kita hanya punya beberapa kesempatan bukan?
Saat kamu sedikit berkisah tentang hidup yang terlalu rumit. Aku menambahkan dengan sedikit persoalan dan kita seperti mereka yang baru saja bertemu. Kita akhiri perbincangan dengan saling menguatkan. Maaf bila yang kuceritakan ini keliru, tetapi aku sangat berharap untuk menghapus kekeliruan yang ada.”
***
“Seingatku tidak ada suatu hal yang lebih dari timbulnya sebuah rasa yang mungkin bagi kita terlalu naif. Mencintaimu? Aku selalu bertanya-tanya, mungkinkah aku terlalu keliru untuk mengatakan rasaku padamu?

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.