Opini
Mendung Demokrasi
Konstitusi dengan mudah dikoyak untuk kepentingan sesat dan sesaat. Pilpres 2024 bukan tentang siapa presidennya.
Selanjutnya, ancaman erosi demokrasi oleh elit politik yang melakukan akumulasi kekuasaan sekaligus membajak demokrasi. Elit politik berjalan dalam gelombang populisme instrumental dan merekayasa persetujuan (baca; manufacturing consent) dengan narasi dia orang baik, dia adalah kita, dan lainya.
Jika berkaca dari teori psikologi politik, elit politik hari ini memenuhi karakteristik elit yang disebut ilmuwan politik Pareto (1968) sebagai elit dengan karakter rubah dan lion, yaitu elit inovatif, spekulatif, dan skeptis.
Berbeda dengan rezim sebelumnya, yang cenderung menekankan pada stabilitas dan keseimbangan. Namun tidak dengan elit politik hari ini, yang kian mengabaikan suara civil society. Fenomena tersebut lantas berkamuflase sebagai benalu demokrasi.
Terdapat pula autocratic legalism, yakni pembajakan mekanisme konstitusi untuk mendapatkan keuntungan dari dangkalnya demokrasi dan hukum. Sebagaimana hukum dijadikan alat penyelewengan instrumen kekuasaan.
Cara tersebut irasional dan kontradiktif dibandingkan penggunaan senjata, karena berdampak buruk bagi masyarakat luas.
Dalam koridor autocratic legalism tersebut, terdapat pelemahan empat institusi demokrasi di Indonesia, di antaranya KPK, DPR (fungsi pengawasan), masyarakat sipil (melalui aksi teror, intimidasi, dan doxxing), serta Mahkamah Konstitusi.
Erosi demokrasi tidak selalu bersumber dari elit politik. Ancaman demokrasi juga muncul dari masyarakat sipil. Dalam konteks politik akhir-akhir ini, suara kritis civic space, terkhusus di media sosial yang seringkali dibungkam oleh komunitas masyarakat sipil lainnya terutama buzzer.
Kondisi ini sangat ironi, dikarenakan masyarakat sipil selama ini diyakini sebagai agen utama demokratisasi, dan kritik terhadap kekuasaan tentu merupakan hal urgen demi terwujudnya demokrasi yang sehat.
Akan tetapi, disaat masyarakat sipil terkooptasi dan menjadi pendukung kekuasaan, hal tersebut secara perlahanakan mematikan kontrol publik. Fenomena ini menunjukan kepada kita jika demokrasi tidak pernah runtuh secara tiba-tiba, melainkan terjadi secara perlahan tanpa disadari.
Indeks Demokrasi
Berdasarkan laporan Global Freedom Score 2023 yang dirilis Freedom House, Indonesia menempati peringkat ke-58 secara global dan ke-9 di Asia Tenggara dalam daftar negara dengan indeks kebebasan dalam hak politik dan kebebasan sipil.
Kebebasan yang dimaksud didasarkan pada premis bahwa standar tersebut berlaku untuk semua negara dan wilayah, terlepas dari lokasi geografis, komposisi etnis atau agama, atau tingkat perkembangan ekonominya.
Jika kita berkaca pada data yang dirilis Economist Intellegence Unit (EIU), Indonesia mendapat skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022, dengan range indeks 0-10. Standar EIU mencakup lima kategori yakni, proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, pemerintahan, partsisipasi politik, dan budaya politik.
Meski demikian, skor dari EIU masih stagnan atau tidak mengalami perubahan siginifikan dengan indeks demokrasi 2021. Sebab demokrasi Indonesia telah terkontaminasi demokrasi cacat (flawed democracy), hal ini dimaksudkan karena peringkat Indonesia pada level global menurun.
Semula 52 menjadi 54 dari total 167 negara. Kita terpaut jauh dengan peringkat pertama Norwegia (skor 9,81), diikuti Selandia Baru dengan skor 9,61, dan Islandia skor 9,52.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.