Sidang eks Kapolres Ngada dan Fani
Keterangan Ahli Pidana dalam Sidang Eks Kapolres Ngada Dinilai Menyesatkan
Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT menilai keterangan ahli pidana dalam sidang Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, menyesatkan
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, OMDSMY Novemy Leo
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APP NTT) menilai keterangan ahli pidana dalam sidang Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, menyesatkan dan mencederai rasa keadilan korban anak.
Hal ini disampaikan APPA NTT dalam rilis yang diterima Pos Kupang, Kamis (18/9/2025) sore.
Dalam rilis itu, Divisi Advokasi Hukum APP NTT, Greg Retas Daeng, SH mengatakan, Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APP NTT) menyayangkan dan mengecam keras substansi keterangan yang disampaikan oleh Ahli Pidana, Dedi Manafe, dalam sidang lanjutan kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan terdakwa eks Kapolres Ngada.
Keterangan ahli yang seharusnya mencerahkan proses peradilan justru dinilai menyesatkan, bertentangan dengan hukum positif Indonesia, dan secara berbahaya mengabaikan hak-hak serta posisi anak sebagai korban.
APP NTT menyoroti empat kejanggalan fundamental dalam keterangan ahli tersebut yang berpotensi meruntuhkan upaya penegakan hukum dan perlindungan anak di Indonesia, khususnya di NTT.
Baca juga: Saksi Ahli Deddy Manafe Sebut UU Tidak Atur Anak yang Melacurkan Diri itu adalah Korban
Greg Retas Daeng, SH, dari Divisi Advokasi Hukum APP NTT, menyatakan bahwa keterangan ahli tersebut menunjukkan adanya pemahaman hukum yang terlalu kaku dan terputus dari semangat keadilan substantif.
“Kami melihat ada dua kekeliruan fatal dari sisi hukum acara. Pertama, terkait status Visum et Repertum (VeR). Ahli menyatakan VeR dari dokter umum tidak sah. Ini jelas menabrak Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang secara eksplisit menyebut ‘ahli kedokteran kehakiman atau dokter’. Logika ini berbahaya, karena akan menutup akses keadilan bagi korban di daerah-daerah yang tidak memiliki dokter forensik,” tegas Greg Retas Daeng.
“Kedua, soal yurisdiksi. Menyatakan locus delicti berada di Australia hanya karena bukti digital ditemukan di sana adalah pandangan yang usang di era kejahatan siber. Perbuatan pidananya terjadi di Kupang, korbannya anak Indonesia, dan pelakunya WNI. Pasal 2 KUHP tentang Asas Teritorial sudah sangat jelas memberikan kewenangan absolut bagi pengadilan Indonesia untuk mengadili perkara ini. Jangan sampai argumen ini menciptakan preseden buruk yang menjadikan Indonesia surga bagi penjahat siber,” lanjut Greg Retas Daeng.
Baca juga: Ketua LPA NTT Tory Ata : Pernyataan Akhmad Bumi Menyesatkan, Tidak Paham Regulasi
Sementara itu, Ansy Damaris Rihi Dara SH, Direktris LBH APIK NTT, yang juga tergabung dalam APP NTT, menyoroti dampak keterangan ahli yang secara langsung menyerang dan menyalahkan korban.
“Argumentasi yang paling melukai rasa kemanusiaan kita adalah pembedaan antara anak yang ‘dilacurkan’ dengan yang ‘melacurkan diri’. Logika ini adalah bentuk reviktimisasi yang kejam. Tidak ada anak yang memilih menjadi korban eksploitasi seksual. Ini adalah puncak dari kerentanan sosial-ekonomi,” ujar Ansy Rihi Dara.
Ansy Rihi Dara menegaskan bahwa hukum Indonesia tidak memberikan ruang bagi pembedaan tersebut.
“UU Perlindungan Anak dan UU TPKS secara tegas menempatkan anak sebagai korban dalam setiap aktivitas seksual dengan orang dewasa. Persetujuan atau inisiatif dari anak tidak relevan dan tidak menghapus pidana bagi pelaku dewasa. Keterangan ahli yang menafikan prinsip ini sama saja dengan memberikan impunitas kepada predator anak,” katanya dengan nada tegas.
Lebih lanjut, Ansy Rihi Dara juga mengkritik spekulasi ahli mengenai kondisi psikiatris korban dan pelaku yang dikaitkan dengan Pasal 44 KUHP.
Baca juga: Akhmad Bumi : Yang Diproduksi dan Dikonsumsi Bukanlah Manusia Melainkan Jasa
“Seorang ahli hukum pidana tidak punya kompetensi mendiagnosis oedipus complex atau pedofilia. Ini adalah ranah psikiater. Menggunakan spekulasi psikologis untuk menggiring opini seolah-olah pelaku tidak dapat dipidana adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab dan merendahkan martabat korban. Ini bukan lagi soal penegakan hukum, tapi soal akal sehat dan keberpihakan pada anak-anak kita,” tutup Ansy Rihi Dara.
Berdasarkan hal tersebut, Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak NTT (APP NTT) menyatakan sikap:
Pertama, Mendesak Majelis Hakim untuk menolak keterangan ahli yang bertentangan dengan hukum positif, terutama UU Perlindungan Anak dan UU TPKS yang bersifat lex specialis, serta mengedepankan keadilan substantif bagi korban.
Kedua, Mengajak publik dan media untuk terus mengawal jalannya persidangan agar tidak terjadi upaya-upaya penggiringan opini yang dapat melemahkan posisi korban dan mencederai rasa keadilan.
Baca juga: LIPSUS: Tensi Darah AKBP Fajar Tinggi Eks Kapolres Ngada Pakai Rompi Orange 26 Ditahan di Rutan
Ketiga, Menyerukan kepada seluruh aparat penegak hukum untuk senantiasa berpegang teguh pada prinsip perlindungan anak dalam menangani setiap kasus kekerasan seksual.
Keempat, Mendesak Dewan Rektor dan Komisi Etik di Universitas Nusa Cendana untuk melakukan uji akademik atas Keterangan keahlian yang disampaikan oleh salah satu dosennya, Deddy R. Ch. Manafe, S.H., M.Hum. Bilamana terbukti, maka terhadap yang bersangkutan harus diberikan sanksi tegas.
APP NTT akan terus berdiri bersama korban dan memastikan bahwa hukum benar-benar menjadi panglima untuk melindungi kelompok paling rentan, bukan menjadi alat bagi pelaku untuk berkelit dari tanggung jawabnya. (vel)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Tim Penasihat Hukum Eks Kapolres Ngada Pertanyakan Etika Doktor Mikhael Feka |
![]() |
---|
Juliana Ndolu : Menormalisasi Kekerasan Seksual dengan Alasan UU Lemah Sama Kejinya dengan Pelaku |
![]() |
---|
Pdt Emmy Sahertian Tekankan Aparat Negara Lakukan Transaksi Seksual dengan Anak di Bawah Umur |
![]() |
---|
Dr. Mikhael Feka: Anak yang Terlibat dalam Praktek Prostitusi adalah Korban |
![]() |
---|
Saksi Ahli Deddy Manafe Sebut UU Tidak Atur Anak yang Melacurkan Diri itu adalah Korban |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.