Sidang eks Kapolres Ngada dan Fani

Keterangan Ahli Pidana dalam Sidang Eks Kapolres Ngada Dinilai Menyesatkan

Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT  menilai keterangan ahli pidana dalam sidang Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, menyesatkan

POS-KUPANG.COM/HO
RDP - Rapat Dengar Pendapat (RDP) Aliansi Peduli Perempuan dan Anak (APP) - Forum Perempuan Diaspora NTT - Jakarta dengan Komisi III dan XIII DPR RI tentang proses hukum eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Selasa (20/5/2025). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, OMDSMY Novemy Leo

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APP NTT)  menilai keterangan ahli pidana dalam sidang Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, menyesatkan dan mencederai rasa keadilan korban anak.

Hal ini disampaikan APPA NTT dalam rilis yang diterima Pos Kupang, Kamis (18/9/2025) sore.

Dalam rilis itu, Divisi Advokasi Hukum APP NTT, Greg Retas Daeng, SH  mengatakan, Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APP NTT) menyayangkan dan mengecam keras substansi keterangan yang disampaikan oleh Ahli Pidana, Dedi Manafe, dalam sidang lanjutan kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan terdakwa eks Kapolres Ngada.

Keterangan ahli yang seharusnya mencerahkan proses peradilan justru dinilai menyesatkan, bertentangan dengan hukum positif Indonesia, dan secara berbahaya mengabaikan hak-hak serta posisi anak sebagai korban.

APP NTT menyoroti empat kejanggalan fundamental dalam keterangan ahli tersebut yang berpotensi meruntuhkan upaya penegakan hukum dan perlindungan anak di Indonesia, khususnya di NTT.

Baca juga: Saksi Ahli Deddy Manafe Sebut UU Tidak Atur Anak yang Melacurkan Diri itu adalah Korban

Greg Retas Daeng, SH, dari Divisi Advokasi Hukum APP NTT, menyatakan bahwa keterangan ahli tersebut menunjukkan adanya pemahaman hukum yang terlalu kaku dan terputus dari semangat keadilan substantif.

“Kami melihat ada dua kekeliruan fatal dari sisi hukum acara. Pertama, terkait status Visum et Repertum (VeR). Ahli menyatakan VeR dari dokter umum tidak sah. Ini jelas menabrak Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang secara eksplisit menyebut ‘ahli kedokteran kehakiman atau dokter’. Logika ini berbahaya, karena akan menutup akses keadilan bagi korban di daerah-daerah yang tidak memiliki dokter forensik,” tegas Greg Retas Daeng.

“Kedua, soal yurisdiksi. Menyatakan locus delicti berada di Australia hanya karena bukti digital ditemukan di sana adalah pandangan yang usang di era kejahatan siber. Perbuatan pidananya terjadi di Kupang, korbannya anak Indonesia, dan pelakunya WNI. Pasal 2 KUHP tentang Asas Teritorial sudah sangat jelas memberikan kewenangan absolut bagi pengadilan Indonesia untuk mengadili perkara ini. Jangan sampai argumen ini menciptakan preseden buruk yang menjadikan Indonesia surga bagi penjahat siber,” lanjut Greg Retas Daeng.

Baca juga: Ketua LPA NTT Tory Ata : Pernyataan Akhmad Bumi Menyesatkan, Tidak Paham Regulasi

Sementara itu, Ansy Damaris Rihi Dara SH, Direktris LBH APIK NTT, yang juga tergabung dalam APP NTT, menyoroti dampak keterangan ahli yang secara langsung menyerang dan menyalahkan korban.

“Argumentasi yang paling melukai rasa kemanusiaan kita adalah pembedaan antara anak yang ‘dilacurkan’ dengan yang ‘melacurkan diri’. Logika ini adalah bentuk reviktimisasi yang kejam. Tidak ada anak yang memilih menjadi korban eksploitasi seksual. Ini adalah puncak dari kerentanan sosial-ekonomi,” ujar Ansy Rihi Dara.

Ansy Rihi Dara menegaskan bahwa hukum Indonesia tidak memberikan ruang bagi pembedaan tersebut. 

“UU Perlindungan Anak dan UU TPKS secara tegas menempatkan anak sebagai korban dalam setiap aktivitas seksual dengan orang dewasa. Persetujuan atau inisiatif dari anak tidak relevan dan tidak menghapus pidana bagi pelaku dewasa. Keterangan ahli yang menafikan prinsip ini sama saja dengan memberikan impunitas kepada predator anak,” katanya dengan nada tegas.

Lebih lanjut, Ansy Rihi Dara juga mengkritik spekulasi ahli mengenai kondisi psikiatris korban dan pelaku yang dikaitkan dengan Pasal 44 KUHP.

Baca juga: Akhmad Bumi : Yang Diproduksi dan Dikonsumsi Bukanlah Manusia Melainkan Jasa

“Seorang ahli hukum pidana tidak punya kompetensi mendiagnosis oedipus complex atau pedofilia. Ini adalah ranah psikiater. Menggunakan spekulasi psikologis untuk menggiring opini seolah-olah pelaku tidak dapat dipidana adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab dan merendahkan martabat korban. Ini bukan lagi soal penegakan hukum, tapi soal akal sehat dan keberpihakan pada anak-anak kita,” tutup Ansy Rihi Dara.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved